Jakarta – Pada Rabu, 10 Juli 2024 sekitar pukul 07.00 WIB, sebanyak 100 personel gabungan yang terdiri atas Satpol PP, aparat kepolisian dan TNI mendatangi kantor pusat Perhimpunan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) di Jalan Hang Jebat III/F3 Jakarta Selatan untuk melakukan pengusiran paksa. Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) dan WALHI Jakarta mengecam pengusiran paksa yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Jakarta Selatan dan Kementerian Kesehatan RI terhadap kantor pusat PKBI yang sudah ditempati sejak 1970 berdasarkan ‘hibah’ dari Gubernur DKI Jakarta saat itu, Ali Sadikin. Kami menyampaikan solidaritas dan dukungan kepada rekan-rekan PKBI yang sejak 1957 bekerja keras dengan dedikasi tinggi pada permasalahan kesehatan, sosial dan kesejahteraan di Indonesia. Selama kurang lebih 67 tahun terakhir, PKBI melakukan edukasi, kampanye dan advokasi penghapusan kekerasan seksual, penanggulangan HIV/AIDS, layanan Keluarga Berencana (KB), dan hak atas kesehatan bagi seluruh masyarakat Indonesia. Kontribusi PKBI mempromosikan kesehatan layak dan berkualitas bagi semua orang harusnya mendapatkan tinggi pemerintah, khususnya Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Sayangnya, kontribusi PKBI selama puluhan tahun justru dibalas dengan tindakan represif berupa tindakan pengusiran paksa para personel PKBI dari kantor mereka. Air susu dibalas air tuba. Pengusiran paksa ini disebabkan oleh permasalahan atas tanah yang selama ini digunakan oleh PKBI dalam kerja-kerja pengabdiannya terhadap bangsa. Menilik persoalan ini, sesungguhnya tak semestinya penyelesaian masalah ini memakan waktu yang panjang bahkan hingga berujung dengan pendekatan represif. Namun demikian, kemauan politik pemerintah untuk mengambil jalan pilihan penyelesaian masalah secara nyata tidak pernah menjadi opsi. Sungguh memalukan di rezim pemerintahan Presiden Jokowi yang pada 7 November 2022 menetapkan pendiri PKBI Dr. dr. R Soeharto Sastrosoeyoso sebagai Pahlawan Nasional, dengan disisi lain membiarkan kementerian kesehatan merampas aset (pengambilalihan paksa gedung PKBI) yang ditinggalkan sang pahlawan. Dari proses yang telah diupayakan, hanya Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang memiliki tindakan nyata untuk menyelesaikan persoalan ini. Melalui surat yang dikeluarkan Bondan Gunawan, Sekretaris Pengendalian Pemerintahan dengan Nomor. B.52/S/E/S/PP/04/2000 tertanggal 19 April 2000 kepada Wakil Badan Pertanahan Nasional (BPN) perihal: Penyelesaian Status Tanah PKBI, yang menyatakan bahwa Presiden menyetujui permohonan sertifikat dimaksud dan meminta kepada instansi terkait membantu penyelesaiannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Namun sayang upaya penyelesaian ini tidak ada keterangan lebih lanjut karena adanya hambatan kepentingan dan halangan birokrat di bawahnya. Atas peristiwa tindakan pengusiran paksa personel/staf dan pengambilalihan paksa kantor pusat PKBI, segenap komponen WALHI menyatakan sikap: Pertama, mengecam tindakan pengusiran paksa yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Jakarta Selatan dan Kementerian Kesehatan RI melalui aparat gabungan (Satpol PP, kepolisian, dan tentara) pada staf atau personel kantor pusat PKBI. Kedua, bersolidaritas dan mendukung PKBI untuk mempertahankan hak atas kantor, pusat pendidikan dan aset-aset yang ada di dalamnya. Ketiga, mendesak Menteri Kesehatan RI, Budi Gunadi Sadikin membatalkan upaya pengambilalihan paksa kantor pusat PKBI dan memberikan hak atas tanah kepada PKBI. Keempat, mendesak Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo turun tangan menyelesaikan persoalan tersebut sebagaimana tindakan nyata yang diambil oleh Presiden Abdurrahman Wahid. Pernyataan Sikap ini ditandatangani oleh: Eksekutif Nasional WALHI Eksekutif Daerah WALHI Jakarta Eksekutif Daerah WALHI Jawa Timur Eksekutif Daerah WALHI Jawa Tengah Eksekutif Daerah WALHI Kalimantan Tengah Eksekutif Daerah WALHI Kalimantan Selatan Eksekutif Daerah WALHI Papua Eksekutif Daerah WALHI Jambi Eksekutif Daerah Sumatera Selatan Eksekutif Daerah WALHI Maluku Utara Eksekutif Daerah WALHI Sulawesi Tengah Eksekutif Daerah WALHI Nusa Tenggara Timur Eksekutif Daerah WALHI Sumatera Barat Eksekutif Daerah WALHI Nusa Tenggara Barat Eksekutif Daerah WALHI Riau Eksekutif Daerah WALHI Bali Eksekutif Daerah WALHI Sulawesi Barat Eksekutif Daerah WALHI Bangka Belitung Eksekutif Daerah WALHI Sulawesi Selatan WALHI Kalimantan Timur Narahubung: Abdul Ghofar (Juru Kampanye Perkotaan Berkeadilan WALHI) +6285645520982 Syahroni Fadhil (Staff Advokasi Walhi Jakarta) 081298376404
WALHI dan DMC Dompet Dhuafa Kerja Sama Dorong Perlindungan dan Pemulihan Pesisir-Pulau Kecil dari Ancaman Bencana Iklim
Jakarta, 8 Juli 2024 — Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) bersama Disaster Management Center (DMC) Dompet Dhuafa menandatangani kerja sama perlindungan, pemulihan dan pelestarian pesisir serta pulau kecil di seluruh wilayah Indonesia yang dilaksanakan pada Senin (08/07/2024) di Pulau Pari, Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan, Kabupaten Kepulauan Seribu, Jakarta. Agenda perlindungan, pemulihan dan pelestarian pesisir serta pulau kecil di seluruh wilayah Indonesia ini, dimulai dari Pulau Pari, Jakarta, dengan cara menanam 1000 bibit mangrove, dan akan berlanjut ke pesisir utara Pulau Jawa, serta akan diteruskan ke provinsi lain di Indonesia. Kerja sama ini dibangun dalam rangka menginisiasi gerakan kolaborasi untuk menguatkan serta mendukung penguatan kampanye advokasi lingkungan hidup guna mendapatkan dukungan publik seluas-luasnya. Adapun isu kunci yang menjadi arus utama dalam kerja sama ini adalah perlindungan dan pemulihan lingkungan hidup, khususnya di pesisir-pulau kecil; mitigasi dan adaptasi krisis iklim; dan konservasi alam di wilayah Indonesia. Dalam kesempatan ini hadir Deputi Direktur 1 Program Sosial Budaya Dompet Dhuafa, Juperta Panji Utama. Menurutnya, Pari Pulau itu dekat dengan pusat mantan ibukota negara Indonesia, Jakarta, dimana segala kekuasaan, pusat kebijakan, keputusan negara Indonesia. “Jika kebijakan yang dekat dengan pusat kebijakan saja tidak berpihak pada kepentingan masyarakat bisa dibayangkan mungkin ada hal-hal serupa di tempat yang lebih jauh lagi,” tegasnya. Panji mengatakan abrasi pantai-pantai di Pulau Pari sudah sangat tinggi sekali. Selain itu perjuangan rakyat Pulau Pari untuk mengelola lingkungannya secara mandiri. Panji mengatakan kerja sama dengan Walhi untuk pengendalian abrasi pesisir Utara Laut Jawa ini dilakukan selama lima tahun. “Setiap tahun kami evaluasi, kalau bisa kerja samanya terus, tapi kita jangan terbatas pada waktu tapi pada bagaimana kami mencapai tujuan-tujuan yang ingin kami capai,” kata Panji. Ia mengatakan Dompet Dhuafa berharap dapat bekerja sama dengan lebih banyak pihak lain, tapi juga pemerintah dan masyarakat yang terdampak kerusakan lingkungan serta krisis iklim. “Semua pihak harus terlibat, semua pihak harus menyatu dan melihat bahwa ini adalah musuh bersama kita,” katanya. Dalam sambutannya, Direktur Eksekutif Walhi Nasional Zenzi Suhadi mengatakan kerja sama ini merupakan persatuan antara dua gerakan yang memobilisasi nilai dan moral kemanusiaan dan gerakan yang melindungi memajukan hak manusia atau lingkungan. Zenzi mengatakan filosofi Dompet Dhuafa yang ia tangkap adalah menghimpun dan mengarahkan sumber daya manusia untuk memelihara dan memajukan nilai-nilai moral kemanusiaan dan termasuk lingkungan. Ia mengatakan pertemuan dua gerakan ini, berpotensi menjadi cikal bakal membangun nilai-nilai universal dan moral manusia di masa depan itu sangat terbuka besar. “Ketika kita berhasil menerjemahkan apa yang kita tandatangani hari ini bukan hanya pertemuan dua coretan tangan pemimpin organisasi,” katanya. “Kami memaknai pertemuan dua organisasi ini sebagai perkawinan antara dua anggota gerakan yang memobilisasi nilai dan moral kemanusiaan dan gerakan yang melindungi memajukan hak manusia atau lingkungan maka kita akan melahirkan satu hal bahwasannya orang lahir dimanapun, berdiri di pulau manapun dia mempunyai hak terhadap semua yang ada di muka bumi ini,” tambahnya. Zenzi mengatakan kehancuran di muka bumi ini karena hak manusia atas lingkungan disekat batas kekuasaan negara padahal tidak ada satu pun di negara muka bumi ini yang akan mampu menangani, mengatasi persoalan lingkungan. Ia mencatat sudah hampir 30 tahun seluruh negara anggota PBB membicarakan perubahan iklim. “Saat para pemimpin dunia itu bertemu selama 30 tahun lamanya, selama itu juga pelepasan emisi meningkat, perubahan iklim meningkat suhu rata-rata harian bumi meningkat,” katanya. Artinya, kata Zenzi, masyarakat tidak bisa menggantungkan harapan keselamatan bumi dan hak generasi berikutnya pada kepemimpinan politik. Masyarakat hanya bisa menggantungkan harapan keselamatan bumi dan hak antar generasi itu kepada kesadaran publik secara luas. Menurutnya pertemuan antara Walhi dan Dompet Dhuafa akan melahirkan jembatan dimana publik bisa terlibat menyelamatkan alam. Ia berharap kerja sama ini menjadi momentum yang harus dirawat. “Saya juga mengusulkan di tahun depan pada tanggal yang sama di tempat yang sama kita mengulangi lagi pertemuannya tetapi dengan skala yang lebih besar,” katanya. Kenapa Berawal dari Pulau Pari? Ketua Kelompok Perempuan Pulau Pari, Asmania mengatakan bahwa pengelolaan pantai dan kebun di Pulau Pari merupakan bentuk perjuangan warga. Sebelumnya, saat dahulu membuka lahan menuju Pantai Rengge (wilayah yang menjadi lokasi penanaman mangrove), warga kerap diintimidasi perusahaan. “Perjuangan kami telah berlangsung sejak tahun 2014 sampai saat ini. Kami masih tetap berjuang untuk ruang hidup dan kehidupan kami disini. Yang bisa kami lakukan adalah gerakan seperti selama ini,” uangkapnya. Asmania juga menambahkan, saat ini kami sudah mengalami dampak krisis iklim yang sangat parah. Menurutnya, krisis iklim telah mengakibatkan abrasi di Pantai Rengge kian memburuk. Pohon-pohon di pinggir pantai tumbang. “Ada kesedihan ketika melihat situasi yang terjadi di sini. Mungkin saat ini masih tetap ada, tetapi kami tidak tahu bagaimana nasibnya 10 atau 15 tahun lagi ini ke depan,” katanya Ia menyampaikan ucapan terima kasih atas dukungan yang terus mengalir dari banyak pihak, termasuk WALHI dan DMC Dompet Dhuafa. “Terima kasih kepada kawan-kawan yang sudah berkontribusi untuk hari ini penanam mangrove. Terima kasih sudah mempercayakan kepada kami warga Pulau Pari,” tambahnya. Asmania menggarisbawahi perjuangan kelompok perempuan di Pulau Pari melawan perampasan tanah oleh perusahaan dan krisis iklim adalah bukti nyata kontribusi perempuan terhadap keadilan dan kelestarian alam. Dirinya menegaskan bahwa pengelolaan lingkungan Pantai Rengge dan Pulau Pari secara keseluruhan oleh kelompok perempuan bukan hanya untuk warga tapi juga untuk anak cucu generasi mereka berikutnya. “Kami hanya ingin hidup tenang dan damai di Pulau Pari. Karena kami sudah sejahtera dengan laut kami. Dan berharap laut serta daratan kami akan baik-baik saja. Kami ingin keadilan antar generasi terwujud di Pulau ini dan seluruh pulau di Indonesia,” katanya. Pulau Pari merupakan salah pulau kecil di Kepulauan Seribu yang luasnya tidak lebih dari 42 hektar. Pulau ini dihuni oleh lebih dari 400 keluarga yang rata-rata bekerja sebagai nelayan dan atau pegiat pariwisata. Sejak lama, Pulau Pari telah terdampak oleh krisis iklim. Pulau Pari semakin sering dihantam banjir rob, kenaikan air laut, cuaca ekstrim, serta tingginya gelombang. Semuanya telah memperburuk kehidupan sosial ekonomi masyarakat Pulau Pari. WALHI bersama HEKS (sebuah lembaga yang berada di Zurich, Swiss) telah mengkalkulasi hilangnya luasan Pulau Pari sebesar 11 persen, atau seluas 4,6 hektar. Sebelumnya, Pulau Pari tercatat seluas 42 hektar. Namun kini hanya tinggal persen 41,4 hektar. Dampak lainnya dari krisis iklim di
140 Produsen Produk Konsumen Terlibat Pencemaran Plastik Pesisir Marunda Kepu
Wahana Lingkungan HIdup Indonesia (WALHI) DKI Jakarta menemukan sekitar 352 merek dari 140 produsen produk konsumen terlibat pencemaran sampah plastik di Pesisir Marunda Kepu, Jakarta Utara. Temuan tersebut didapat dari audit merek yang dilakukan Walhi Jakarta pada 18 Maret 2023 lalu.
Ekspor Sedimentasi, Wajah Palsu Pemulihan Laut.
Pemerintah, untuk kesekian kalinya, Kembali menunjukkan ketidakberpihaknnya terhadap kelangsungan lingkungan hidup dan penghidupan masyarakat. Melalui penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 Tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut, pemerintah telah mengancam kelangsungan pesisir, laut, pulau-pulau kecil, termasuk masyarakat yang hidup di dalamnya.
Wacana Penyesuaian Tarif KRL Hanya akan Tambah Beban Polusi Udara Jakarta
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) DKI Jakarta menilai wacana penyesuaian tarif KRL berdasarkan pendapatan bersebrangan dengan komitmen pengendalian polusi udara di Jakarta. Alih-alih mendistribusikan subsidi tepat sasaran, wacana tersebut, justru akan melunturkan budaya naik kendaraan umum, khususnya KRL. Imbasnya, potensi kemacetan dan beban polusi udara di Jakarta akan meningkat. Padahal, menurut Walhi Jakarta, sampai saat ini saja polusi udara dan kemacetan di ibu kota belum bisa diselesaikan dengan baik oleh pemerintah. “Masyarakat dibuat berpikir ulang untuk menggunakan kendaraan umum karena tarifnya yang naik. Padahal, kendaraan pribadi menjadi salah satu sumber polusi terbesar di Jakarta,” kata Pengkampanye Walhi Jakarta, Muhammad Aminullah. Subsidi tiket KRL sendiri, lanjut Aminullah, bukan hanya soal bantuan bagi masyarakat mampu atau tidak, tapi lebih kepada dukungan bagi pengguna transportasi publik. Sebab pengguna transportasi publik telah berperan dalam menekan angka kecelakaan, kemacetan, polusi udara, serta emisi gas rumah kaca. Sehingga, perannya harus didukung melalui subsidi pengguna kendaraan umum. “Jakarta tangah bertarung dengan kemacetan dan polusi udara, dan para pengguna transportasi umum telah mengambil peran menjadi salah satu bagian dari pemulihan Jakarta. Sudah sepatutnya pemerintah, khususnya kementerian perhubungan mendukungnya, bukan justru mencabut subsidinya,” kata Aminullah. Ketimbang mencabut subsidi KRL bagi kalangan tertentu, Aminullah menekankan agar subsidi kendaraan listrik pribadi yang dicabut. Subsidi kendaran listrik nantinya dapat dialihkan pada peningkatan transportasi listrik yang bersifat masal. Selain tidak menjawab persoalan ketergantungan pada kendaran pribadi, subsidi kendaraan listrik pribadi hanya akan menambah jumlah kendaraan di Jalanan. Sampai saat ini saja, menurut data BPS, angka sepeda motor dan mobil penumpang di Jakarta sudah mencapai 20.666.400 unit. “Pemerintah harusnya fokus pada upaya melepas ketergantungan masyarakat pada kendaraan pribadi. Subsidi tiket KRL sudah tepat justru harus ditingkatkan, harusnya subsidi kendaraan listrik pribadi yang dharus dipikirkan ulang,” tutup Aminullah. Jakarta, 31 Desember 2022 Narahubung:Muhammad Aminullah – Pengkampanye Walhi DKI Jakarta 08569552319
Selain Polusi Udara, ini Persoalan Lingkungan Hidup Jakarta yang Lain
Jakarta beberapa hari ini dihebohkan dengan kualitas udara yang begitu buruk. Saking buruknya, sebuah firma pengumpul indeks kualitas udara asal Swiss, IQAIR, menobatkan kota ini sebagai kota paling berpolusi di dunia dalam beberapa hari. Polusi udara sebenarnya bukan barang baru lagi di Jakarta. Di kota yang hampir tenggelam ini, setiap hari warganya harus berjibaku dengan polusi udara. Indeks kualitas udara yang disusun IQAIR memperlihatkan hampir setiap hari Jakarta menempati urutan lima besar sebagai kota paling berpolusi di seluruh dunia. Di luar persoalan kualitas udara yang tidak sehat, Jakarta masih menyimpan masalah lingkungan lain yang tidak kalah menakutkan dari polusi udara. Walhi Jakarta telah merangkum pelbagai persoalan lingkungan tersebut secara singkat, berikut daftarnya: Pencemaran Air dan Ancaman Krisis Air Tidak mau kalah dengan udara, kualitas air di Jakarta juga menghawatirkan. Sebut saja 13 sungai yang melintas di Jakarta. Dari kesemuanya, tidak ada satupun yang tidak tercemar. Menurut keterangan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI Jakarta, cemaran di 13 sungai DKI Jakarta berada di tingkat tercemar sedang hingga berat. Tercemarnya 13 sungai DKI Jakarta turut berimbas pada kualitas lingkungan hidup di Teluk Jakarta. Pasalnya, ke-tiga belas sungai tersebut bermuara di Teluk Jakarta. Tidak heran jika perairan di Muara Angke, salah satu muara di Jakarta, menghitam akibat akumulasi cemaran dari sungai. Selain air sungai, air tanah di Jakarta pun tidak luput dari pencemaran. Berdasarkan hasil analisis kualitas air tanah DLH DKI Jakarta tahun 2020, rata-rata kualitas air tanah di DKI Jakarta tercemar berat. Kabar buruknya, titik sampel yang diambil DLH Jakarta merupakan air tanah dangkal yang biasa digunakan masyarakat. Akibat dari tercemarnya dua sumber air tersebut, ketersediaan air bersih di Jakarta pun mulai terancam. Jakarta Utara misalnya, di beberapa wilayah pesisir Jakarta ini, warganya harus berjibaku mendapatkan air bersih dan air minum setiap hari. Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) DKI Jakarta sebenarnya sudah coba mengakali layanan di Jakarta Utara. Sayangnya, upaya mereka masih diskriminatif. Warga tanpa surat kepemilikan tanah tidak bisa memasang pipa sebagaimana umumnya. Mereka harus memasang sistem master meter yang masih banyak memiliki kekurangan seperti tarif yang tidak terkendali, kualitas yang buruk, dan air yang kerap mati. Pencemaran Laut dan Nestapa Nelayan Menurunnya hasil tangkap nelayan akibat berkurangnya biota laut menjadi bahasan sehari-hari nelayan Jakarta. Nelayan Muara Angke misalnya, mereka mengeluhkan ikan-ikan yang yang mulai berkurang dan kualitas kerang yang menurun dalam beberapa tahun terakhir. Meskipun masih bisa dapat ikan, mereka harus menempuh jarak yang lebih jauh dari biasanya. Di Pulau Pari, bukan hanya ikan, budidaya rumput laut pun hampir tumbang. Persoalan yang dirasakan para nelayan tersebut tidak terlepas dari pencemaran yang terjadi di perairan Jakarta dan Kepulauan Seribu. Kali Adem, muara dari sungai-sungai di Jakarta, kondisinya menghitam pertanda tercemar berat. Padahal kali ini berhadapan langsung dengan laut Jakarta. Tak pelak, limbah-limbah beracun dari sungai Jakarta mengalir bebas ke lautan. Salah satu nelayan Muara Angke pernah bercerita kepada Walhi Jakarta. Katanya, Kali Adem dahulu begitu bersih, bahkan bisa digunakan mandi oleh warga sekitarnya. Jenis ikan dan kerangpun banyak. Tapi sekarang, jangankan untuk mandi dan ruang hidup ikan, baunya saja busuk. Pencemaran limbah industri sudah merusak kondisi Kali Adem. Awal tahun 2022, limbah farmasi pun bebas mencemari kali sekaligus muara tersebut. Sementara itu, di Pulau Pari, limbah minyak mentah menjadi musuh utama para nelayan selain krisis iklim. Ketika limbah ini datang, sudah bisa dipastikan para nelayan akan merugi. Ikan-ikan menjauh, ikan ditambak bahkan mati, dan rumput laut rusak. Kerugian tetsebut belum termasuk biaya perawatan kapal dan jaring ikan yang terkena limbah minyak mentah. Para nelayan harus membersihkannya, bahkan menganti jaring yang sudah terkena limbah tersebut. Seorang warga yang sekaligus mantan pembudidaya rumput laut menuturkan, dirinya bahkan sampai enggan menanam rumput laut karena trauma dengan pencemaran yang kerap terjadi tersebut. Saat ini, di Pulau Pari hanya tersisa satu pembudidaya rumput laut. Darurat Sampah Tidak lengkap bicara Jakarta tanpa sampah. Sebab di Jakarta, persoalan sampah sudah memasuki fase krisis. Berdasarkan catatan Walhi Jakarta, sampai tahun 2020, baik timbulan maupun sampah yang masuk Bantargebang, keduaya memiliki tren yang cenderung naik. Timbulan sampah sendiri merupakan sampah yang dihasilkan Jakarta, jumlahnya yang pada 2015 mencapai 7.506 ton perhari, naik menjadi 8.369 ton per hari pada tahun 2020. Peningkatan jumlah tersebut diperparah dengan pengelolaan sampah yang masih menggunakan sistem kumpul-angkut-buang tanpa pemilahan yang ketat. Pada tahun 2020 saja, dari total 8.369 ton sampah harian Jakarta, hanya berkurang 945 ton sebelum masuk Bantargebang, sisanya yang berjumlah 7000 ton tersebut dibuang ke Bantargebang. Bantargebang yang mestinya hanya mengelola sampah residu dipaksa menampung segala jenis sampah. Dampaknya, Bantargebang pun kolaps. Pada 2021, volume Bantargebang sudah melebihi batas penampungan. TPST yang hanya mampu menampung 21.879.000 m3 sampah ini dipaksa menampung hingga 22.387.370 m3. Krisis Iklim dan Ancaman Tenggelam Jakarta pernah dinobatkan sebagai konta paling rentan krisis iklim oleh Lembaga analisis bisnis, Verisk Maplecroft, pada 2021 lalu. Dalam laporan tersebut, 40 persen wilayah Jakarta juga disebutkan berada dibawah permukaan air laut. Dampak krisis iklim di Jakarta memang terbilang menghawatirkan. Banjir rob misalnya, beberapa masyarakat di Muara Angke, Marunda Kepu, dan Pulau Pari, melaporkan akhir-akhir ini banjir rob mengalami perubahan. Jika pada kondisi normal banjir rob bisa diprediksi, sekarang tidak. Banjir rob datang sevara tiba-tiba dan cepat. Di Pulau Pari, banjir rob yang terjadi tahun 2020 bahkan diakui warga sebagai rob yang paling parah selama mereka tinggal di pulau wisata tersebut. Hal serupa juga terjadi di pesisir Jakarta. Dampak banjir rob terus meluas tiap tahun. Berdasarkan catatan Walhi Jakarta, dalam sebelas tahun, cakupan kelurahan di Jakarta yang terdampak banjir rob naik sebanyak tiga kali lipat. Jika pada tahun 2010 hanya ada tiga kelurahan yang terdampak rob, pada tahun 2021 naik menjadi sepuluh kelurahan. Sampai awal 2022, banjir rob masih kerap terjadi, baik di Jakarta Utara maupun di Pulau Pari. Penulis: Muhammad Aminullah