55 Tahun hari Bumi, Pulihkan Jakarta dan Rebut Kota

Setiap tanggal 22 April, dunia merayakan Hari Bumi. Tahun ini, perayaan tersebut sudah 55 kali diperingati. Tapi di Jakarta, kita tidak sedang merayakan. Kita sedang mempertanyakan: bumi yang mana yang dijaga? Dan untuk siapa sebenarnya kota ini dipulihkan?

Selama lebih dari dua dekade, arah pembangunan Jakarta dibentuk oleh logika ekstraktivisme, logika pembangunan yang menempatkan ruang kota sebagai objek eksploitasi untuk akumulasi kapital. Ruang kota tidak dianggap sebagai ruang hidup bagi warga yang harus dijaga keberlanjutannya. Melainkan sumber daya yang harus dikeruk agar dapat menunjang nilai ekonomi, yang seringnya hanya dinikmati segelintir pihak, khususnya pemilik modal.

Ruang hijau menjadi saksi bagaimana logika ekstraktivisme tersebut berjalan. Dari luas awal pada 1983 yang mencapai 25.988 hektar, ruang hijau di Jakarta terus dikeruk sampai tersisa 3.332 hektar saja pada 2022. Petuntukannya, tidak sedikit tentu untuk menunjang akumulasi kapital. Sepanjang 1985-2006 saja, 9.700 ha area hijau dialih fungsi menjadi kawasan komersil, termasuk hutan mangrove di Jakarta Utara yang statusnya dilindungi, yang sekarang menjelma kawasan elit Pantai Indah Kapuk.

Di pesisir dan pulau-pulau kecil, kondisinya juga tidak jauh berbeda. Dari 110 pulau yang ada, 74 diantaranya dikuasai swasta maupun perorangan. Beberapa pengelola dengan seewenang-wenang melakukan pengerukan laut dangkal secara ilegal yang menghancurkan sumber penghidupan nelayan.

Lebih lanjut, logika ekstrativisme tersebut, baik secara langsung maupun tidak, juga menyebabkan terusirnya masyarakat kampung kota di Jakarta yang turut diikuti hilangnya pengetahuan hidup masyarakat lokal. Catatan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, sepanjang 2015-2018, terdapat 416 penggusuran paksa, termasuk penggusuran kampung kota. Ironisnya, tidak sedikit penggusuran tersebut dilakukan atas nama perbaikan lingkungan hidup, padahal, persekutuan pemerintah dengan korporasi lah yang menyebabkan degradasi lingkungan.

Hilangnya kampung sendiri tidak sesederhana kehilangan rumah atau lahan semata. Melainkan juga hilangnya pengetahuan ekologis untuk hidup di Jakarta. Kampung kota menyimpan praktik adaptasi tidak ternilai yang terbentuk dari pengalaman secara turun temurun. Hidup adaptif dengan banjir melalui konsep berbagi ruang dan rumah panggung dan ketahanan sosial menghadapi krisis adalah contohnya. Jakarta sudah kehilangan bagian dari memorinya sendiri sekaligus kehilangan garda depan yang selama ini menjadi penjaga bumi dalam bentuk paling konkret.

Logika dan arah pembangunan di Jakarta tersebut mempertegas posisi negara yang tidak hadir sebagai pelindung, melainkan sebagai fasilitator perampasan ruang. Mekanisme pengambilan keputusan seringkali tertutup, partisipasi warga dilemahkan, dan resistensi dari masyarakat sering kali dibalas dengan represi. Warga yang mempertahankan kampungnya dari penggusuran atau perusakan lingkungan berkedok pembangunan kerap dicap penghambat kemajuan kota, bahkan dikriminalisasi seperti empat orang nelayan Pulau Pari. Padahal merekalah penjaga lingkungan yang paling setia.

 

Keadilan Ekologis Sebagai Jalan Pulih

Pemulihan Jakarta tidak akan datang dari proyek betonisasi, ruang hijau artifisial, apalagi sebatas seremonial hari bumi. Pemulihan sejati hanya bisa dimulai dengan menggeser kerangka berpikir dari pertumbuhan menuju keberlanjutan, dari pembangunan elitis menuju keadilan ekologis. Artinya, mengakui hak warga untuk menentukan nasib ruang hidupnya, menghentikan proyek-proyek eksploitatif, dan membangun kota yang berpihak pada kehidupan, bukan laba semata.

Pemulihan tersebut juga tidak cukup dengan pendekatan teknokratis yang menjauh dari realitas sosial. Diperlukan keberanian politik untuk membebaskan ruang hidup dari dominasi kepentingan pasar. Upaya pembebasan ruang hidup yang mencakup penghentian proyek-proyek eksploitatif, penataan ulang tata ruang berbasis daya dukung dan daya tampung lingkungan, serta pengakuan terhadap hak-hak warga untuk terlibat dalam pengambilan keputusan.

Inisiatif warga dalam menjaga lingkungan, termasuk mempertahankan ruang hidup dan menuntut pemenuhan hak asasi manusia juga harus diakui sebagai bagian dari solusi, bukan dianggap sebagai gangguan terhadap rencana pembangunan. Sebab keadilan ekologis hanya mungkin terwujud jika rakyat memiliki kuasa atas ruang, atas air, atas tanah, dan atas masa depannya sendiri. Jika kuasa tersebut tidak diberikan negara, maka warga Jakarta harus merebutnya sebagai langkah awal merebut kota.

 

Muhammad Aminullah

Juru Kampanye Walhi Jakarta

  • All Posts
  • Aksi Kita
  • Isu Jakarta
  • Publikasi
  • Suara Sahabat
    •   Back
    • Udara
    • Air Dan Tanah
    •   Back
    • Kasus
    • Aksi Masa
    •   Back
    • Siaran Pers
    • Catatan Akhir Tahun
    • Laporan Lingkungan Hidup
    • Produk Pengetahuan Lingkungan Hidup
    • Artikel
    • Kertas Rekomendasi
    • Lembar Fakta
    • Buletin
    •   Back
    • Transisi Energi
    • Bencana Iklim
    •   Back
    • Pesisir dan Pulau Pulau Kecil
    • Tata Kelola Sampah
    • Krisis Iklim
    • Perempuan Dan Lingkungan Hidup
    • Perebutan Ruang
    • Pencemaran
    • Hak Atas Air
    • Pengelolaan Sampah
    • Plastik
    • Transisi Energi
    • Bencana Iklim
    • Ruang Terbuka Hijau
    • Sungai
    • Reklamasi
    • Udara
    • Air Dan Tanah
    •   Back
    • Pengelolaan Sampah
    • Plastik
    •   Back
    • Ruang Terbuka Hijau
    • Sungai
    • Reklamasi
Report KPUD

01/10/2024/

WALHI Jakarta menemui Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi DKI Jakarta pada Selasa, 1 Oktober 2024, untuk menegaskan urgensi isu...

Load More

End of Content.

Terima kasih telah mendaftarkan email anda Ops! Something went wrong, please try again.

Quick Links

Recent news

  • All Post
  • Aksi Kita
  • Isu Jakarta
  • Publikasi
  • Suara Sahabat
    •   Back
    • Udara
    • Air Dan Tanah
    •   Back
    • Kasus
    • Aksi Masa
    •   Back
    • Siaran Pers
    • Catatan Akhir Tahun
    • Laporan Lingkungan Hidup
    • Produk Pengetahuan Lingkungan Hidup
    • Artikel
    • Kertas Rekomendasi
    • Lembar Fakta
    • Buletin
    •   Back
    • Transisi Energi
    • Bencana Iklim
    •   Back
    • Pesisir dan Pulau Pulau Kecil
    • Tata Kelola Sampah
    • Krisis Iklim
    • Perempuan Dan Lingkungan Hidup
    • Perebutan Ruang
    • Pencemaran
    • Hak Atas Air
    • Pengelolaan Sampah
    • Plastik
    • Transisi Energi
    • Bencana Iklim
    • Ruang Terbuka Hijau
    • Sungai
    • Reklamasi
    • Udara
    • Air Dan Tanah
    •   Back
    • Pengelolaan Sampah
    • Plastik
    •   Back
    • Ruang Terbuka Hijau
    • Sungai
    • Reklamasi