Lima Persoalan Lingkungan Hidup Perkotaan, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil yang Dilupakan pada Debat Cawapres ke-Dua: Catatan untuk Para Kandidat dari Sudut Pandang Jakarta

Jakarta telah lama menjadi sentral pembangunan ekonomi dan politik nasional yang kerap berdampak pada arah pembangunan di daerah-daerah lain di Indonesia. Sayangnya, di Jakarta sendiri pembangunan dilakukan tanpa memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan sehingga Jakarta mengalami beban akumulatif pembangunan yang tidak berkelanjutan dari masa ke masa. Akibatnya, banyak permasalahan lingkungan hidup yang muncul seperti penurunan muka tanah yang mencapai 12 cm per tahun, krisis air bersih, polusi udara, pencemaran laut, sampah dan limbah yang tidak terkelola, serta tenggelamnya pesisir dan pulau-pulau kecil. Sementara, masyarakat harus terus merasakan dampak penurunan kualitas hidup yang berakar pada ketidakadilan ruang akibat ketimpangan penguasaan agraria di Jakarta yang lebih dari separuhnya telah dikuasai korporasi sehingga menghambat pemenuhan 30% Ruang Terbuka Hijau (RTH) sesuai amanat UU Penataan Ruang.

Sementara pulau-pulau kecil di Kepulauan Seribu, Jakarta, tengah menghadapi ancaman krisis iklim yang mempengaruhi keberlanjutan ekologis, kedaulatan pangan dan ketersediaan air bersih, serta keberlanjutan ekonomi masyarakatnya yang mayoritas adalah nelayan dan pelaku pariwisata berbasis masyarakat. Di sisi lain, alternatif ekonomi yang digagas masyarakat melalui pengelolaan pariwisata berbasis komunitas di Kepulauan Seribu juga terancam karena penguasaan pulau oleh korporasi pariwisata dan reklamasi perluasan pulau tanpa izin serta proyek strategis pariwisata nasional yang dicanangkan di kawasan Taman Nasional Bahari Kepulauan Seribu. Sebagai catatan, sejak tahun 1960-an Jakarta telah kehilangan 6 pulaunya dan 23 pulau saat ini sedang dalam keadaan kritis.

Namun, berbagai persoalan lingkungan hidup di Jakarta hanya dijadikan bancakan untuk memenuhi argumentasi pemindahan ibukota tanpa sedikitpun menyentuh upaya pemulihan lingkungan hidup dan kesejahteraan kaum marjinal yang paling tidak memiliki akses di Jakarta. Dalam Rancangan UU Daerah Khusus Jakarta, yang merupakan konsekuensi logis dari lahirnya UU IKN, sama sekali tidak menyentuh substansi pemulihan. Sangat disayangkan karena alih-alih berbicara pemulihan, kawasan aglomerasi dan pembentukan dewan aglomerasi yang akan dipimpin oleh wakil presiden justru akan semakin memperkuat pembangunan yang tidak berkelanjutan di Jakarta dan kawasan sekitarnya.

Atas dasar permasalahan tersebut, WALHI Jakarta bermaksud memberikan catatan mengenai persoalan-persoalan lingkungan hidup yang dilupakan dalam debat calon wakil presiden pada 21 Januari 2024 yang secara khusus membahas mengenai pembangunan berkelanjutan, sumber daya alam, lingkungan hidup, energi, pangan, agraria, masyarakat adat dan desa. Catatan ini ditujukan kepada kandidat capres dan cawapres dalam sudut pandang Jakarta yang dapat menjadi pintu masuk untuk melihat aspek tata kelola perkotaan, pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil secara lebih luas. Catatan tersebut antara lain adalah sebagai berikut:

Polusi Udara dan Transisi Energi

Polusi udara di Jakarta masih bersumber dari energi fosil, yakni PLTU batubara dalam radius 100 km dari Jakarta, PLTU batubara captive yang digunakan di sektor industri, dan penggunaan minyak bumi untuk kendaraan bermotor. Transisi energi merupakan salah satu kunci mengatasi polusi udara di Jakarta. Namun, debat malam tadi hanya berfokus pada produksi energi di hulu dan hanya semata-mata mengganti sumber energi serta mengabaikan keseluruhan rantai pasok energi secara holistik, mulai dari pra produksi hingga pasca konsumsi.

Jakarta sebagai konsumen energi yang tinggi diproyeksikan akan mengalami peningkatan konsumsi energi di tahun 2050 terutama di sektor transportasi, mengalahkan kebutuhan energi di sektor rumah tangga. Tingginya konsumsi ini disebabkan oleh alih kendaraan berbasis bensin menjadi berbasis listrik yang selama ini ditopang oleh kebijakan insentif baik berupa subsidi pembelian kendaraan listrik maupun pembebasan pajak dan bea balik nama yang diatur oleh Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6 Tahun 2023.

Kebijakan hilirisasi nikel untuk menopang industri kendaraan berbasis listrik yang digaungkan dalam debat kandidat semalam sama sekali tidak menyentuh aspek konsumsi dengan segudang permasalahan yang diciptakan pemerintah untuk menggenjot pasar kendaraan listrik yang pada saat bersamaan pasokan energinya masih bersumber dari energi kotor. Di tambah, implikasi terhadap limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) sebagai proses pasca konsumsi juga berpotensi menimbulkan dampak lingkungan luput dari pembahasan para kandidat.

Luputnya Pembahasan Perlindungan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil

Pesisir dan pulau-pulau kecil menjadi kawasan pertama yang terdampak krisis iklim. Sayangnya, dengan kondisi tersebut, tidak ada satupun kandidat yang membahas strategi perlindungan dan pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil dalam debat bertema lingkungan hidup semalam.

Di Jakarta sendiri, Teluk Jakarta sampai saat ini masih terus dipaksa untuk menjadi Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) yang pembangunannya tidak memperhatikan terlampauinya daya dukung daya tampung lingkungan sehingga menyebabkan penurunan muka tanah dan pencemaran. Dalam dokumen RDTR DKI Jakarta 2022, pemerintah bahkan merencanakan pembangunan pulau reklamasi kembali.

Sementara itu, Kepulauan Seribu saat ini sedang menghadapi ancaman degradasi lingkungan akibat privatisasi pulau. Dari 110 pulau yang terdata, 74 diantaranya dikuasai korporasi dan perorangan yang menyebabkan pembangunan dilakukan secara sporadis termasuk reklamasi dan pengerukan dasar laut tanpa izin. Ancaman penurunan kualitas lingkungan hidup di Kepulauan Seribu juga ditambah dengan rencana proyek Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) yang justru akan melegitimasi pengembangan pulau dengan merusak lingkungan seperti reklamasi dan pengerukan dasar laut. Sebab KSPN dirancang untuk memajukan pariwisata kelas atas dan berbasis kepentingan pemodal, bukan masyarakat lokal dengan pengembangan wisata berkelanjutan.

Dalam konteks adaptasi iklim, rencana pemerintah membangun tanggul laut raksasa (Giant Sea Wall) juga justru menghilangkan keanekaragaman hayati dan identitas nelayan di kawasan pesisir. Sebab dalam pembangunannya, tanggul laut justru merusak mangrove, mereklamasi pantai, sampai menggusur ribuan nelayan di Jakarta. Alih-alih menjadi proyek adaptasi iklim, tanggul laut justru menjadi maladaptasi iklim sebab dibangun dengan merusak ekosistem dan kehidupan masyarakat.

Kondisi pesisir dan pulau-pulau kecil saat ini yang terus mengalami penurunan kualitas lingkungan tersebut telah meningkatkan risiko dampak krisis iklim bagi masyarakat pesisir dan kepulauan. Dengan kondisi tersebut, para pasangan harusnya secara tegas menunjukkan keberpihakannya pada masyarakat pesisir dan kepulauan dengan menghentikan proyek-proyek yang berimbas pada penurunan kualitas lingkungan hidup baik di pesisir maupun pulau-pulau kecil. 

Reforma Agraria Perkotaan 

Sejatinya reforma agraria merupakan implementasi dari mandat Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (TAP MPR RI) Nomor IX/MPR/2001 tentang pembaharuan agraria dan pengelolaan sumber daya alam. Dalam pasal 2 TAP MPR RI Nomor IX/MPR/2001 dijelaskan bahwa “Pembaharuan agraria mencakup suatu proses yang berkesinambungan, berkaitan dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sumberdaya agraria, dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian dan perlindungan hukum serta keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia”.

Sangat disayangkan pada perhelatan debat kandidat semalam, pembahasan agraria seolah-olah hanya diasosiasikan pada persoalan sektor-sektor pertanian dan pedesaan namun luput memandang persoalan lingkungan hidup di perkotaan yang juga diakibatkan oleh ketimpangan penguasaan agraria. Di Jakarta, penguasaan agraria separuhnya telah dikuasai oleh korporasi sehingga menghambat pemenuhan 30% RTH, penataan kampung kota, akses air bersih, dan masalah hak atas tanah termasuk di pesisir dan pulau-pulau kecil.

Reforma agraria di perkotaan dapat diwujudkan dalam bentuk alokasi tanah pemukiman untuk kelompok rentan secara sosial-ekonomi, penataan kawasan kumuh perkotaan, konsolidasi tanah, penyediaan tanah untuk lingkungan bersih dan pengelolaan sampah publik atau komunitas yang memang benar-benar menjadi masalah utama di perkotaan.

Sejatinya, reforma agraria bertujuan untuk menata kembali struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan sumber-sumber agraria ke arah yang lebih adil, mengurangi kemiskinan dan memperbaiki akses rakyat kepada sumber-sumber ekonomi. Memandang reforma agraria tidak hanya sebatas melalui penataan aset yang dilaksanakan melalui program redistribusi tanah dan legalisasi aset tetapi juga meliputi penataan akses agar masyarakat memiliki akses sumber permodalan untuk meningkatkan kemampuan ekonomi serta lingkungan yang baik dan sehat.

Merujuk pada permasalahan agraria di kampung nelayan Muara Angke, Jakarta Utara, di mana masyarakat nelayan tradisional telah lama menguasai, mengurus, dan menempati wilayah tersebut. Masyarakat nelayan di Muara Angke telah dua kali mengalami pengusiran. Pertama akibat pembangunan kawasan Ancol di tahun 1960-an dan berpindah ke daerah Muara Karang hingga tahun 2003 kembali terusir akibat pembangunan PLTG Muara Karang. Saat ini, masyarakat nelayan tradisional kembali mengalami ancaman penggusuran kembali karena proyek pembangunan National Capital Integrated Coastal Development (NCICD) dan Reklamasi Teluk Jakarta. Hal ini terjadi sebab tidak ada kepastian hukum yang memberikan pengakuan pada masyarakat nelayan untuk menempati kawasan tersebut.

Reforma agraria Perkotaan menjadi semakin sulit diimplementasikan sebab sumber-sumber agraria dikuasai oleh segelintir pemilik modal melalui upaya-upaya akumulasi dan sistem pencadangan yang dilakukan untuk pengembangan bisnis properti. Reforma agraria di perkotaan seharusnya dapat menjadi strategi dalam mewujudkan keadilan ekologi perkotaan agar terjaga keseimbangan antara pemukiman, RTH, dan ruang-ruang publik lainnya.

Hak atas Air vs Privatisasi Air

Pembahasan Hak Atas Air, juga luput dibahas dalam debat kandidat malam tadi, sedangkan masalah terhadap akses dan Hak Atas Air juga menjadi masalah krusial bagi rakyat hari-hari ini. Walhi Jakarta mencatat ada beberapa hal yang seharusnya perlu diungkapkan kepada publik yakni : 

Pertama, pengaturan yang diskriminatif atas Akses Air Bersih, menjadi permasalahan yang hingga sampai saat ini belum menemukan penyelesaiannya. Melalui Pergub Nomor 16 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pemasangan Pipa Air PDAM di Jakarta membuka peluang-peluang konflik dan kesenjangan antara masyarakat kaya dan miskin. Dalam Pasal 3 Pergub tersebut menegaskan bahwa penyambungan dan pemakaian air minum secara umum harus memiliki bukti Kepemilikan atas tanah.

Pasal 3 Ayat 2 :

Penyambungan clan pemakaian Air Minum secara umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a mengatur mengenai pelayanan kepada pemohon yang memiliki bukti kepemilikan atas tanah untuk diberikan pelayanan penyambungan dan pemakaian Air Minum.

Kedua, pencemaran air yang tidak kunjung dapat diatasi dan pemanfaatan sumber air permukaan yang belum optimal. Jakarta sendiri memiliki 13 sungai dan 117 waduk/embung/danau. Jumlah ini seharusnya cukup untuk memenuhi kebutuhan air masyarakat Jakarta. Namun nyatanya, pemanfaatan sumber air permukaan masih kurang dari 10%. Situasi tersebut diperburuk oleh kondisi sumber air permukaan yang tercemar berat hingga sedang akibat aktivitas industri dan pengelolaan limbah yang tidak berwawasan lingkungan. Alih-alih memulihkan dan memanfaatkan sumber air yang ada, pemerintah justru mengembangkan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) baru yang sarat monopoli dan jauh dari prinsip-prinsip pemenuhan hak asasi manusia. Buruknya pengelolaan air di Jakarta berdampak pada tingginya ekstraksi air tanah yang menjadi penyebab utama penurunan permukaan tanah di Jakarta. Dengan kata lain, buruknya pengelolaan air di Jakarta telah meningkatkan ancaman bencana yang akan menimbulkan krisis multidimensi di Jakarta, termasuk mengorbankan kelompok-kelompok yang paling rentan.

Ketiga, kelompok rentan (perempuan, anak, disabilitas, lansia, dsb) mengalami peningkatan kerentanan dan beban yang lebih berat atas buruknya pengelolaan air di Jakarta. Kelompok miskin kota misalnya, dengan pendapatan yang tidak menentu harus membayar tarif air dengan selisih dua sampai lima kali lipat dari harga normal. Sementara kelompok perempuan, sebagai kelompok yang dilekatkan dengan urusan rumah tangga, harus menyiasati penggunaan air yang terbatas untuk kebutuhan hidup seluruh keluarga. Tidak jarang, dalam kondisi krisis air, kelompok perempuan juga harus terlibat dalam perebutan air yang mengancam keselamatannya. Situasi ini tidak menjadi perhatian khusus pemerintah yang masih melakukan praktek pengabaian dalam proses kebijakan pengelolaan air di Jakarta.

Pengelolaan Sampah

Indonesia saat ini masih terjebak dalam paradigma pengelolaan sampah kumpul-angkut-buang yang menyebabkan beberapa Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) sampah di beberapa kota khususnya di Jawa kelebihan muatan. Hal tersebut diperparah dengan sistem pengelolaan sampah berbasis open dumping yang masih digunakan hampir di seluruh TPA di Jawa. Open dumping sendiri merupakan sistem pengelolaan sampah dengan menumpuk sampai menggunung tanpa proses pengelolaan. Sistem ini membuat TPA memiliki kerentanan bencana berupa longsor, kebakaran, serta pencemaran gas metan dan air lindi. Selain itu, sistem open dumping juga menjadi kontributor gas rumah kaca yang mempercepat proses krisis iklim.

Alih-alih menumbuhkan karakter dan budaya peduli sampah oleh masyarakat, pemerintah justru terjebak dalam pengelolaan sampah berbasis thermal (Waste to Energy) yang justru berpotensi melahirkan masalah baru. Pengelolaan sampah berbasis thermal yang tidak melalui proses ketat justru akan menimbulkan pencemaran udara dan pelepasan emisi. Selain itu, proses pembakaran beberapa jenis sampah juga akan menghasilkan Dioksin dan Furan, salah satu zat paling berbahaya bagi lingkungan, manusia, dan makhluk hidup lainnya.

Selain itu, dalam konteks sampah plastik kemasan, pemerintah juga perlu mempertegas tanggung jawab produsen dalam mengurangi dan menarik kembali kemasan plastik milik produsen. Sebab sampai saat ini, pesisir di beberapa wilayah, khususnya Jakarta dalam kondisi tercemar dengan dominasi sampah plastik produsen.

Dari seluruh pembahasan dalam debat calon wakil presiden malam tadi, sebenarnya sulit menemukan arah pemulihan lingkungan hidup dari aras yang fundamental. Oleh karenanya, WALHI Jakarta memberikan catatan kepada seluruh pasangan calon presiden dan wakil presiden untuk:

  1. Membangun strategi pemulihan lingkungan hidup dan menahan laju kerusakan ekologi secara holistik yang mencakup wilayah perkotaan, pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil
  2. Meluruskan paradigma bahwa pengelolaan sumber-sumber agraria, termasuk mengatasi ketimpangan penguasaan agraria, harus mencakup wilayah perkotaan, pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil
  3. Mengakui nelayan dan perempuan nelayan sebagai subjek pengelola sumber-sumber agraria sehingga mengatasi ketimpangan pengelolaan dan penguasaan agraria yang saat ini masih bias darat
  4. Tidak menganggap wilayah perkotaan dan warga kota hanya sebatas objek akumulasi kapital dan mengenyampingkan tata kelola kota yang adil dan berkelanjutan dengan memastikan keterlibatan seluruh masyarakat, termasuk kelompok rentan.

Narahubung: 

Muhammad Aminullah – Pengkampanye Walhi Jakarta – 085695523194

Syahroni Fadhil – Advokasi Walhi Jakarta – 081298376404

Category

  • All Posts
  • Aksi Kita
  • Isu Jakarta
  • Publikasi
  • Uncategorized
    •   Back
    • Udara
    • Air Dan Tanah
    •   Back
    • Kasus
    • Aksi Masa
    •   Back
    • Siaran Pers
    • Catatan Akhir Tahun
    • Laporan Lingkungan Hidup
    • Produk Pengetahuan Lingkungan Hidup
    • Artikel
    • Kertas Rekomendasi
    • Lembar Fakta
    •   Back
    • Transisi Energi
    • Bencana Iklim
    •   Back
    • Pesisir dan Pulau Pulau Kecil
    • Tata Kelola Sampah
    • Krisis Iklim
    • Perempuan Dan Lingkungan Hidup
    • Perebutan Ruang
    • Pencemaran
    • Hak Atas Air
    • Pengelolaan Sampah
    • Plastik
    • Transisi Energi
    • Bencana Iklim
    • Ruang Terbuka Hijau
    • Sungai
    • Reklamasi
    • Udara
    • Air Dan Tanah
    •   Back
    • Pengelolaan Sampah
    • Plastik
    •   Back
    • Ruang Terbuka Hijau
    • Sungai
    • Reklamasi
Load More

End of Content.

Terima kasih telah mendaftarkan email anda Ops! Something went wrong, please try again.

Quick Links

Recent news

  • All Post
  • Aksi Kita
  • Isu Jakarta
  • Publikasi
  • Uncategorized
    •   Back
    • Udara
    • Air Dan Tanah
    •   Back
    • Kasus
    • Aksi Masa
    •   Back
    • Siaran Pers
    • Catatan Akhir Tahun
    • Laporan Lingkungan Hidup
    • Produk Pengetahuan Lingkungan Hidup
    • Artikel
    • Kertas Rekomendasi
    • Lembar Fakta
    •   Back
    • Transisi Energi
    • Bencana Iklim
    •   Back
    • Pesisir dan Pulau Pulau Kecil
    • Tata Kelola Sampah
    • Krisis Iklim
    • Perempuan Dan Lingkungan Hidup
    • Perebutan Ruang
    • Pencemaran
    • Hak Atas Air
    • Pengelolaan Sampah
    • Plastik
    • Transisi Energi
    • Bencana Iklim
    • Ruang Terbuka Hijau
    • Sungai
    • Reklamasi
    • Udara
    • Air Dan Tanah
    •   Back
    • Pengelolaan Sampah
    • Plastik
    •   Back
    • Ruang Terbuka Hijau
    • Sungai
    • Reklamasi