Jakarta, 16 Mei 2023 – Sepuluh orang pengurus Forum Peduli Pulau Pari (FPPP) yang merupakan representasi masyarakat Pulau Pari, bersama dengan Eksekutif Daerah Walhi Jakarta, dan Eksekutif Nasional Walhi mendatangi Kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Republik Indonesia, yang berlokasi di Jalan Latuharhari No. 4B, Kelurahan Menteng, Jakarta Pusat. Tujuan kedatangan ini adalah untuk menyampaikan gugatan iklim yang kini ditempuh masyarakat Pulau Pari kepada Holcim, perusahaan semen yang berbasis di negara Swiss.
Dalam kesempatan tersebut, Mustaghfirin yang merupakan ketua FPPP, menjelaskan situasi Pulau Pari yang terus terdampak buruk krisis iklim, khususnya kenaikan air laut dalam bentuk banjir rob yang semakin sering terjadi. Ia menyebutkan Pulau Pari telah tenggelam seluas 11 persen. “Kami sangat mengkhawatirkan nasib masa depan generasi muda di Pulau Pari jika banjir rob tidak dihentikan segera,” tegasnya.
“Pulau Pari yang dihuni oleh ratusan orang sering diserang banjir rob pada malam hari,” ungkap Arif Pujiyanto, nelayan sekaligus mekanik yang turut hadir dalam pertemuan dengan Komnas HAM.
Ia menyebut, banyak anak-anak yang trauma karena banjir rob yang intensitasnya terus terjadi sejak tahun 2020. “Tak sedikit anak-anak di Pulau Pari mengelami ketakutan dan trauma akibat banjir rob. Mereka tak bisa masuk sekolah karena kesahatan fisik dan psikisnya terganggu,” ungkapnya.
Banjir yang datang pada malam hari telah merusak rumahnya secara permanen. Ia harus memperbaiki rumahnya sendiri dan mengeluarkan uang sekitar Rp 3.000.000 untuk memulihkan kerusakan rumahnya.
Tak hanya itu, keluarga Arif juga harus membeli lebih banyak air, karena air sumur yang ada di rumahnya telah terintrusi air laut. “Untuk mencuci diri, pakaian, untuk membersihkan kami tidak dapat menggunakan air sumur akibat banjir rob yang merendam selama beberapa hari. Sejak itu, kami harus membeli lebih banyak air dari penyulingan, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari,” tegasnya.
Sementara itu, Edi Mulyono, nelayan sekaligus pelaku pariwisata, menyatakan ia bersama kawan-kawan lainnya seringkali mengalami kerugian ekonomi karena banjir rob. Ratusan wisatawan yang akan datang ke Pulau Pari mendadak membatalkan rencana kunjungannya karena situasi yang tidak memungkinkan.
Edi Mulyono, menyebut telah kehilangan pendapatan dari homestay dan pendapatan pariwisata. Para wisatawan telah membatalkan perjalanannya karena khawatir akan terjadi banjir rob. “Saya mengalami kerugian Rp 5.500.000 akibat banjir rob pada November dan Desember 2021,” ungkap Edi.
Ia juga tak tidak bisa menangkap ikan, akibat banjir rob dan harus membersihkan Pulau. Akibatnya, ia kehilangan penghasilan sekitar Rp 1.750.000.
Kerusakan Ekologis yang memperparah krisis iklim
Sementara itu, Syahroni Fadhil, Divisi Advokasi Walhi Jakarta, menyampaikan bahwa krisis iklim telah menyebabkan pulau-pulau kecil di Kabupaten Kepualuan Seribu tenggelam. “Dalam catatan kami, telah ada tujuah pulau kecil yang hilang akibat kenaikan air laut,” katanya.
Ia juga menjelaskan dampak buruk krisis iklim semakin diperparah oleh aktivitas reklamasi yang berada di sekitar Pulau Pari yang terus berlanjut. Aktivitas ini telah mengancurkan ekosistem pulau-pulau kecil.
Reklamasi telah mempersempit akses keluar masuk kapal nelayan Pulau Pari untuk melaut. Sebab reklamasi Pulau Tengah turut merampas sebagian arus laut yang digunakan nelayan tradisional Pulau Pari. “Kesulitan nelayan terus bertambah dengan rusaknya ekosistem pulau kecil akibat reklamasi di Pulau Tengah,” ungkapnya.
Sementara itu, rusaknya ekosistem perairan akibat reklamasi Pulau Tengah, menurut Walhi Jakarta, mengindikasikan kemungkinan adanya tindak kejahatan lingkungan. Hal tersebut didasarkan pada pembangunan Pulau Tengah yang mengorbankan ekosistem yang ada. Padahal, ekosistem tersebut memiliki nilai penting bagi kelangsungan lingkungan hidup dan masyarakat sekitar.
“Aktivitas reklamasi Pulau Tengah telah merusak ekosistem perairan termasuk padang lamun. Dalam Undang-undang No.1 Tahun 2014 pengrusakan padang lamun merupakan tindak pidana,” kata Divisi Kampanye Walhi Jakarta, Muhammad Aminullah.
Walhi Jakarta juga menilai kerusakan ekosistem tersebut tidak terlepas dari kelalaian pemerintah dalam pemberian izin pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil. Pemerintah dengan mudah memberikan izin lokasi dan pengelolaan tanpa memperhatikan dampak buruk, baik bagi lingkungan maupun kehidupan masyarakat.
Kenapa Holcim Digugat?
Holcim adalah industri semen terbesar di dunia. Selain itu, perusahaan ini merupakan industri terbesar untuk bahan dasar beton, dan salah satu dari 50 penghasil emisi CO2 terbesar dari semua perusahaan di seluruh dunia. Dalam memproduksi semen, Holcim telah melepaskan CO2 dalam jumlah yang sangat besar.
Berdasarkan sebuah studi, antara tahun 1950 dan 2021, perusahaan ini telah melepaskan lebih dari 7 miliar ton CO2. Itu berjumlah 0,42% dari semua emisi CO2 industri global sejak tahun 1750 atau lebih dari dua kali lipat sebanyak semua yang dikeluarkan Swiss selama periode waktu yang sama. Oleh karena itu, Holcim memikul tanggung jawab yang signifikan atas krisis iklim dan situasi di Pulau Pari.
Gugatan iklim terhadap Holcim, merupakan kelanjutan dari gugatan iklim global yang ketiga, setelah gugatan terhadap Shell di Belanda yang dilakukan oleh Friend of The Earth (FoE) Belanda, dan gugatan Petani Peru terhadap RWE, sebuah perusahaan batubara Jerman.
“Gugatan iklim oleh masyarakat Pulau Pari terhadap Holcim adalah ketiga di dunia, kedua di global south, dan pertama di Indonesia,” kata Parid Ridwanuddin, Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional Walhi.
Menurut Parid, gugatan iklim yang dilakukan oleh masyarakat Pulau Pari adalah gebrakan penting di Indonesia dan dunia untuk membangunkan kesadaran masyarakat global mengenai dampak buruk krisis iklim di global south. “Gugatan ini mewakili nasib puluhan juta orang di Indonesia yang terdampak krisis iklim. Walhi mengajak pemerintah Indonesia dan seluruh masyarakat yang terdampak krisis iklim, khususnya yang tinggal di pulau-pulau kecil, untuk mendukung gugatan ini dan menjadi bagian penting untuk menuntut keadilan iklim,” tegasnya.
Apa itu keadilan iklim?
Keadilan iklim berjangkar pada konsep utama mengenai keselamatan masyarakat, generasi yang akan datang, serta lingkungan hidup dari krisis iklim. Lebih jauh, keadilan iklim mengandung sejumlah konsep turunan sebagai berikut, di antaranya: pertama, menegaskan masyarakat memiliki hak untuk bebas dari krisis iklim, dampak terkait, dan bentuk lain dari perusakan ekologis; kedua, menegaskan hak-hak masyarakat adat dan komunitas yang terkena dampak untuk mewakili dan berbicara untuk diri mereka sendiri; ketiga, menuntut masyarakat yang terkena dampak untuk memainkan peran utama dalam proses pengambilan keputusan atau perumusan pembangunan, baik di tingkat nasional dan internasional, untuk mengatasi krisis iklim;
keempat, menyerukan pengakuan prinsip utang ekologis yang harus dibayar oleh pemerintah, industri dan perusahaan transnasional kepada seluruh masyarakat yang terdampak krisis iklim; kelima, menuntut agar bahan bakar fosil dan industri ekstraktif bertanggung jawab penuh atas semua dampak siklus hidup masa lalu dan saat ini yang berkaitan dengan produksi gas rumah kaca;
keenam, menuntut sumber daya energi bersih, terbarukan, dikendalikan lokal, dan berdampak rendah demi kepentingan planet yang berkelanjutan bagi semua makhluk hidup; ketujuh, menyerukan moratorium pada semua yang baru eksplorasi dan eksploitasi bahan bakar fosil; kedelapan, menegaskan hak pemuda sebagai mitra sejajar dalam gerakan untuk mengatasi krisis iklim dan dampak yang terkait; dan
kesembilan, keadilan iklim menyerukan pendidikan generasi sekarang dan mendatang, menekankan isu-isu iklim, energi, sosial dan lingkungan, sambil mendasarkan diri pada pengalaman hidup nyata dan apresiasi terhadap perspektif budaya yang beragam.
Respon Komnas HAM
Menanggapi informasi gugatan iklim yang disampaikan oleh pengurus Forum Peduli Pulau Pari (FPPP), Komisioner Komnas HAM Republik Indonesia, Saurlin Siagian, menjelaskan bahwa kedatangan masyarakat Pulau Pari untuk menyampaikan audiensi atau aduan merupakan yang pertama di dunia.
“Ini adalah yang pertama di dunia, dimana masyarakat yang terdampak (korban) krisis iklim datang dan mengadu ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Merupakan satu kehormatan bagi kami untuk menerima dan merekam aduan ini,” ungkapnya.
Menurut Saurlin, aduan yang disampaikan oleh masyarakat Pulau Pari kepada Komnas HAM menunjukkan lembaga ini masih sangat dipercaya oleh masyarakat Indonesia. Lebih jauh, Komnas HAM akan selalu bekerja dan berjuang bersama masyarakat.
Terkait dengan gugatan iklim yang dilakukan oleh masyarakat Pulau Pari, Saurlin berpandangan bahwa gugatan iklim merupakan salah satu cara untuk merebut keadilan iklim yang hari ini menjadi panggilan masyarakat global.
Menurutnya, Komnas HAM memberikan dukungan kepada kelompok masyarakat yang berjuang untuk bebas dari krisis iklim karena itu merupakan hak asasi yang dijamin oleh konstitusi Republik Indonesia, khususnya pasal 28 H yaitu: “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.”
Bahkan di level internasional, tambah Saurlin, hal ini sejalan dengan Universal Declaration of Human Rights 1948, terutama Pasal 25 menyebut “everyone has the right to a standard of living adequate for the health and well-being of himself and of his family…”. Pasal ini menegaskan, hak untuk mendapatkan lingkungan hidup yang sehat (healthy environment), sebagai syarat untuk mendapatkan kehidupan yang adequate for the health. Artinya, setiap orang berhak untuk mendapatkan kehidupan yang sehat, berkualitas, dan bebas dari kerusakan.
Tak hanya itu, keadialn iklim yang diperjuangkan oleh masyarakat Pulau pari sejalan dengan Stockholm Declaration of the United Nations Conference on the Human Environment (Deklarasi Stockholm 1972), khususnya Prinsip 1, yaitu: “Man has the fundamental rights …and adequate conditions of life, in an environment of a quality….”. Artinya, setiap orang berhak mendapatkan kondisi kehidupan yang sehat, perlu adanya perlindungan terhadap lingkungan hidup, yang pada akhirnya masyarakat akan menikmati lingkungan yang bersih serta bebas dari kerusakan.
“Keadilan iklim,” kata Saurlin, “adalah bagian utama dari Hak Asasi Manusia. Tetapi pengetahuan mengenai hal ini perlu diterus dikembangkan sehingga dipahami secara baik oleh masyarakat luas. Kami akan terus mendukung semua upaya untuk mewujudkan keadilan iklim,” pungkasnya. (*)
Informasi lebih lanjut
Muhammad Aminullah, Divisi Kampanye Walhi Jakarta, di nomor +62 856-9552-3194
Parid Ridwanuddin, Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional Walhi, di nomor +62 812-3745-4623
Catatan tambahan
Empat penggugat menuntut ganti rugi yang proporsional atas krisis iklim yang mereka alami agar Holcim berkontribusi untuk mencegah banjir. Selain itu, mereka menuntut agar Holcim mengurangi emisi CO2 sebesar 43% pada tahun 2030 dan sebesar 69% pada tahun 2040 jika dibandingkan dengan emisi perusahaan pada tahun 2019. Ini akan sejalan dengan target yang ditetapkan dalam Perjanjian Iklim Paris untuk membatasi pemanasan global hingga 1,5 derajat.
HEKS, Pusat Kajian Konstitusional dan Hak Asasi Manusia Eropa (ECCHR) dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) mendukung pengaduan gugatan keempat warga Indonesia tersebut dengan kampanye “Call for Climate Justice”.
Selengkapnya silakan akses www.callforclimatejustice.org untuk mendapatkan laporan, kajian, analisis, foto, dan video.