Jakarta, Antara Krisis Iklim dan Buruknya Tata Ruang

Jakarta sedang menghadapi tantangan yang tak terelakkan. Tata ruang yang berorientasi pada kepentingan ekonomi tidak berwawasan ekologi serta krisis iklim yang terjadi secara global telah terakumulasi memperparah kerawanan Jakarta yang secara geografis sudah memiliki potensi bencana alami. Hal tersebut turut juga diperparah dengan kecenderungan pemerintah yang menjawab persoalan lingkungan hidup dengan pendekatan praktis melalui proyek infrastruktur. 

Secara geografis, Jakarta yang berbentuk cekungan dan menjadi muara dari 13 sungai yang berhulu di luar kota memiliki kerentanan alami terhadap beberapa bencana seperti banjir sungai dan rob. Bagian selatan Jakarta yang cenderung berbukit juga memiliki potensi kerawanan longsor sementara semakin ke Utara yang terbentuk dari tanah lapisan aluvial cenderung berpotensi mengalami penurunan tanah dan banjir rob.

Gagalnya Perencanaan Jakarta yang Terus Berulang

Alih-alih meredam risiko bencana yang sudah ada, pembangunan Jakarta dari tahun ke tahun justru dilakukan secara sporadis dan destruktif. Atas nama pembangunan dan pertumbuhan ekonomi, ruang-ruang dengan fungsi ekologis terus digerus untuk menunjang Jakarta sebagai pusat pemerintahan, ekonomi, dan bisnis.

Wilayah selatan Jakarta yang merupakan kawasan berbukit dan memiliki fungsi resapan air ini turut mengalami pembangunan pesat sebagai penunjang ekonomi. Sementara Jakarta Utara, dengan potensi penurunan muka tanahnya, selain harus menunjang kawasan perkantoran, juga dibebani kawasan pelabuhan dan industri. Padahal, dengan kondisi lingkungan dan kerentanan bencana pada kedua wilayah tersebut, pembangunan seharusnya dibatasi. 

Dalam konteks peruntukan lahan, Jakarta tidak pernah bisa konsisten mempertahankan area hijau yang sejatinya memiliki fungsi ekologi berupa area resapan dan penangkap emisi. Berdasarkan data yang diolah Walhi Jakarta dari beberapa sumber, Jakarta sudah kehilangan sekitar 22.656 hektar RTH dalam kurun 39 tahun. 

Sudah kehilangan banyak area resapan dan parkir air, kemampuan tanah menyerap air hujan pun terus dikurangi dengan pembangunan bangunan fisik yang menutup permukaan tanah. Catatan Walhi Jakarta, sampai tahun 2021, 93 persen lahan ibu kota sudah terbangun. Selain itu, Dinas Cipta Karya Tata Ruang dan Pertanahan (DCKTRP) DKI Jakarta pada 2019 juga menyebutkan, hampir 90 persen permukaan tanah Jakarta tertutup beton.

Pembangunan yang tidak menimbang fungsi ekologi kawasan juga terjadi di daerah aliran sungai. Di beberapa wilayah, sungai mengalami perubahan bentuk berupa pelurusan meander atau lekukan yang berakibat pada penyusutan panjang sungai. Catatan Walhi Jakarta, Kali Pesanggrahan telah mengalami penyusutan sepanjang 1.500 meter dalam rentang waktu 2002– 2021. Penyusutan tersebut diakibatkan oleh perusakan meander sungai di beberapa lokasi. Dalam kurun waktu tersebut ada sekitar 13 meander yang telah mengalami perubahan bentuk dan beralih fungsi menjadi jalan inspeksi, danau, akses jalan kawasan, bahkan bagian komplek perumahan dan apartemen.

Tidak hanya di darat, pembangunan berorientasi ekonomi yang merusak lingkungan juga terjadi di Kepulauan Seribu. Privatisasi pulau yang marak terjadi di wilayah terluar Jakarta ini turut menimbulkan potensi bencana terhadap kelangsungan ekosistem perairan dan masyarakat sekitar.

Pulau Tengah, salah satu pulau yang dikuasai oleh swasta telah secara terang-terangan melakukan perluasan pulau dengan mereklamasi laut. Imbasnya, perairan sekitar Pulau Tengah mengalami penurunan kualitas akibat kerusakan karang dan padang lamun yang turut berimbas pada hilangnya ruang hidup masyarakat sekitar yang hidup sebagai nelayan.

Krisis Iklim dan Akumulasi Kerusakan Lingkungan

Kerusakan lingkungan hidup yang telah terjadi pada akhirnya terakumulasi menjadi satu ancaman serius yang meneror Jakarta. Hal tersebut menyebabkan kota ini tidak siap menghadapi krisis iklim yang saat ini telah terjadi.

Berdasarkan data yang tersedia di laman Data Informasi Bencana Indonesia, kecenderungan bencana hidrometeorologi di Jakarta terus mengalami tren peningkatan dalam 20 tahun terakhir. Cuaca ekstrim misalnya. Fenomena ini baru mulai sering terjadi pada rentang 2012-2014. Berdasarkan data BPBD DKI Jakarta, sepanjang 2017-2022, kejadian cuaca ekstrim telah memunculkan 33 kejadian angin kencang dan 1460 pohon tumbang. Pada rentang tahun yang sama, cuaca ekstrim juga menyebabkan 8 orang meninggal dunia dan 896 sarana rusak. Begitu Pula dengan tanah longsor yang mulai mengalami peningkatan pada tahun 2016.

Akumulasi persoalan lingkungan hidup Jakarta juga berdampak pada peningkatan banjir di ibu kota. Saat ini, banjir tidak hanya terjadi akibat air kiriman, melainkan didominasi hujan lokal. Temuan Walhi Jakarta menyebutkan 52,1 persen banjir tidak dipicu secara signifikan oleh air kiriman dari hulu. Dalam kondisi tersebut, status pintu air ketika terjadi banjir berada pada status normal. Dengan kata lain, hujan lokal pun saat ini sudah mampu membuat Jakarta Banjir.

Di Kepulauan Seribu, akumulasi kerusakan lingkungan hidup akibat reklamasi Pulau Tengah dan krisis iklim juga mengancam kelangsungan hidup masyarakat Pulau Pari. Kerusakan padang lamun dan ekosistem perairan akibat aktivitas reklamasi telah membuat Pulau Pari semakin rentan menghadapi krisis iklim. 

Banjir rob yang biasanya terjadi setahun maksimal dua kali terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2022 saja, ada total 11 hari kejadian rob. Selain semakin sering, banjir rob juga semakin besar dan lebih jauh menjangkau daratan. Selain itu, di bagian barat Pulau Pari, bibir Pantai Bintang terus mengalami kemunduran akibat air laut yang terus naik. Air pasang juga semakin mengalami kenaikan dan mengarah ke pemukiman masyarakat. Hal serupa juga terjadi di bagian timur Pulau pari yang terus mengalami pengikisan bibir pantai. 

Dampak yang dialami oleh  masyarakat jakarta

Dampak yang disebabkan dari adanya kirisis iklim dan gagalnya perencanaan di jakarta sangatlah dirasakan langsung oleh masyarakat Jakarta. Warga Pulau Pari, salah satu dari masyarakat jakarta yang mengalami dari adanya kirisis iklim, banjir rob yang biasanya terjadi setahun maksimal dua kali terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2022 saja, ada total 11 hari kejadian rob. Selain semakin sering, banjir rob juga semakin besar dan lebih jauh menjangkau daratan. kemudian ruang-ruang bermain anak serta tempat ibadah juga ikut menghilang karena adanya banjir Rob, hal demikian dialami oleh masyarakat muara baru penjaringan jakarta utara.

Mendasari dari data BPBD DKI Jakarta, sepanjang 2017-2022, kejadian cuaca ekstrim telah memunculkan 33 kejadian angin kencang dan 1460 pohon tumbang. Pada rentang tahun yang sama, cuaca ekstrim juga menyebabkan 8 orang meninggal dunia dan 896 sarana rusak. kemudian dari adanya National Capital Integrated Coastal Development (NCICD), berdampak bagi Kepulauan Seribu Selatan yang tengah mengalami krisis dan ancaman tenggelam, Nelayan Tradisional dengan kapal <10G dan perolehan Rawmaterial di Wilayah Banten (pasir), Bogor (Tanah), dan Wilayah Lain.

Walhi Jakarta mencatat dari adanya kegagalan perencanaan tata ruang dan krisis iklim di jakarta, juga menjadikan kelompok rentan mengalami beban yang berlipat ganda, hal demikian dialami oleh perempuan nelayan di pesisir dan pulau-pulau kecil karena harus bekerja pada ranah domestik dengan situasi krisis air bersih, ekosistem yang rusak membuat perempuan kehilangan ruang untuk pemenuhan kebutuhan pangan. Ditambah, perempuan harus mencari tambahan ekonomi untuk pemenuhan kebutuhan keluarganya saat suaminya sulit mencari nafkah. situasi ini bahkan lebih berat dialami oleh perempuan kepala keluarga.

Gagalnya perencanaan di jakarta dialami oleh adik-adik disabilitas, yang mengalami relokasi  sekolahnya yang terdampak dari pencemaran debu batu bara, dikarenakan jarak sekolahnya yang paling dekat dengan Pelabuhan bongkar muat.

Setengah Hati Mitigasi

Menghadapi potensi bencana yang semakin rumit, lagi-lagi upaya mitigasi yang dilakukan pemerintah justru menambah beban Jakarta. Dalam konteks banjir, temuan Walhi mengenai pemicu banjir yang didominasi hujan lokal menunjukkan adanya kesalahan tata ruang yang menyebabkan kemampuan tanah menyerap air berkurang. Bukannya mendorong pemulihan kemampuan tanah tersebut, pemerintah justru sibuk dengan solusi praktis seperti pompa dan infrastruktur pengendali banjir. Sialnya, infrastruktur seperti betonisasi yang termuat dalam program normalisasi sungai justru merusak fungsi sungai itu sendiri. Di Kali Pesanggarahan, jejak pengrusakan sungai akibat normalisasi begitu terlihat. Tidak hanya membeton, pemerintah juga meluruskan lekukan alami sungai. Potensi dampaknya wilayah hilir akan mengalami penumpukan sedimentasi lebih cepat sebab bagian hulu dan tengah sungai Pesanggrahan mengalami peningkatan kemampuan mengangkut sedimentasi, sementara bagian hilir justru mengalami penurunan kemampuan. 

Di pesisir, mengatasi ancaman tenggelam, pemerintah juga membangun infrsatruktur berupa tanggul laut untuk mengamankan pesisir. Sayangnya, pembangunan tersebut juga turut menyebabkan kerusakan lingkungan sampai hilangnya mata pencaharian masyarakat nelayan. Dalam konteks kerusakan lingkungan NCICD Fase A berpotensi merusak mangrove yang kondisinya saat ini sudah kritis. Imbasnya, nelayan akan kehilangan 1,5 ha daerah penangkapan dan budidaya kerang hijau. NCICD juga bakal menggusur pemukiman masyarakat nelayan. Dampaknya, mereka akan kehilangan identitas nelayan karena harus direlokasi ke tempat lain.

Sudah begitu merusak lingkungan, pembangunan tanggul laut juga tidaklah efektif untuk dijadikan solusi jangka panjang. Tanah akan terus turun, air laut akan terus naik. Harusnya pemerintah secara radikal menghentikan pembangunan di Jakarta Utara dan mempercepat pemenuhan akses air bersih. Sebab dua hal tersebut turut berpengaruh pada penurunan tanah di Jakarta.

Di luar aspek infrastruktur mitigasi tersebut, pemerintah juga masih saja menambah beban pembangunan di kota yang sekarat ini. Melalui Peraturan Gubernur No. 118 Tahun 2020 Tentang Izin Pemanfaatan Ruang, pemerintah justru mempermudah proses pembangunan di ibu kota. Dengan begitu, potensi tidak terkendalinya pembangunan akan terus meningkat. Terlebih, menurut DLH Jakarta, diperkirakan pada tahun 2030, pemerintah akan membangun sekitar 1350 bangunan tinggi untuk menunjang kebutuhan hunian dan komersil.

tidak cukup mengeluarkan peraturan Gubernur No. 118 Tahun 2020 pemerintah DKI Jakarta, diketahui Pada tanggal 28 Juni 2022 Gubernur DKI Jakarta telah mencabut Perda Nomor 1 Tahun 2014 melalui Surat Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor e-0026/HK.01.02 tanggal 28 Juni 2022 hal Pencabutan Perda Nomor 1 Tahun 2014 tentang RDTR dan Peraturan Zonasi. 

Walhi Jakarta menilai bahwa pencabutan Perda No 1/2014 tersebut, sarat dengan kepentingan, bukannya mengarah pada pemulihan Lingkungan Hidup, justru pencabutan Perda No.1/2014 sebagai upaya peningkatan nilai investasi dan kemudahan berusaha, hal tersebut dikatakan langsung oleh Gurbernur DKI Jakarta, saat  gubernur DKI Jakarta adalah Anies Baswedan.

Melansir melalui Website Resmi DPRD DKI Jakarta, Gubernur Anies baswedan mengatakan “Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang yang menjadi salah satu peraturan pelaksana Undang Undang Cipta Kerja telah mengamanatkan untuk dilakukan penetapan RDTR dan Peraturan Zonasi dalam bentuk Peraturan Kepala Daerah dengan mengikuti pedoman penyusunan dan penyajian basis data sesuai norma standar prosedur dan ketentuan yang berlaku secara nasional,” ujar Anies di gedung DPRD DKI Jakarta”.

Walhi Jakarta menilai bahwa keberadaan Undang-undang Cipta Kerja, saat ini Perpu Cipta Kerja, merupakan undang-undang yang bermuatan politis kepentingan dan tidak berpihak sama sekali kepada rakyat. Kemudian dengan diundangkanya Peraturan Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 31 Tahun 2022 Tentang Rencana Detail Tata Ruang Wilayah Perencanaan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, secara otomatis hadir untuk memenuhi ambisi kepentingan Investasi dan pembangunan yang tidak berpihak kepada rakyat. 

Walhi Jakarta menilai ada beberapa hal menjadi catatan penting, atas keberadaan Pergub 31 Tahun 2022 tersebut, yakni :

  1. Pemerintah DKI Jakarta sebelum membentuk pergub 31 Tahun 2022, diketahui belum pernah ada hasil mengenai Evaluasi dan Monitoring terhadap Lahan-lahan yang ada dijakarta, menjadi pertanyaan ialah apakah pernah dilakukan Monitoring dan evaluasi atau belum atas lahan-lahan yang berada di Jakarta;;
  2.  Pergub 31 Tahun 2022 tersebut masih sangat bernuansa pembangunan;
  3. Berpotensi terjadinya penggusuran, karena kebutuhan lahan;
  4. Teluk Jakarta dan Pulau-pulau kecil masih dibayang-bayangi oleh aktivitas Reklamasi, dalam pergub tersebut mengakomodir penataan ruang yang masih mengedepankan cara-cara reklamasi untuk menciptakan lahan, dapat dilihat dalam pasal 43 huruf g dan Pasal 192;
  5. Dalam pergub tersebut mengakomodir adanya National Capital Integrated Coastal Development (NCICD), perlu diketahui bahwa terdapat 3 Fase, Fase A,B dan C, menurut Muslim Mu’in (ITB), Alan Koropitan (IPB), Jan Sopaheluwakan (LIPI), Wahyoe Hantoro (LIPI), dan JanJaap Brinkman (Deltares, Konsultan NCICD), Fase A ini diperlukan sebagai no-regret policy yang memang perlu dilakukan untuk melindungi Jakarta dari banjir rob sebagai penguatan tanggul yang dibarengi dengan penghentian eksploitasi penggunaan air tanah, dan perbaikan kualitas air sungai serta rehabilitasi Teluk Jakarta dari pencemaran adalah langkah terbaik akan tetapi kemudian NCICD fase B dan C yang merupakan tahap pembangunan Great Garuda itu sendiri tidak diperlukan.

dengan keadaan Jakarta saat ini yang begitu carut marutnya, justru Pemerintah Jakarta, tidak melihat hal ini sebagai ancaman besar dari adanya Krisis Ekologis, faktanya dalam Rancangan Undang-undang Kekhususan Jakarta, justru Pemerintah ingin menjadikan Jakarta sebagai pusat perkonomian global yang pembangunannya mengarah pada peningkatan daya saing kota dengan kota-kota megapolitan dunia yang pada puncaknya akan menambah beban ekologi Jakarta.

Rekomendasi 

  1. Menghentikan segala aktivitas pembangunan yang  menambah beban lingkungan dan berpotensi merusak lingkungan di DKI Jakarta serta berfokus pada agenda pemulihan lingkungan hidup yang berkeadilan .
  2. Melakukan evaluasi atas seluruh tata kelola lingkungan hidup di Jakarta, terutama tata perizinan yang merampas penikmatan hak masyarakat atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat
  3. Menempatkan masyarakat, termasuk perempuan dan kelompok rentan lainnya, sebagai subjek utama pembangunan sehingga arah pembangunan Jakarta berorientasi pada kebutuhan masyarakatnya.
  4.  

Category

  • All Posts
  • Aksi Kita
  • Isu Jakarta
  • Publikasi
  • Uncategorized
    •   Back
    • Udara
    • Air Dan Tanah
    •   Back
    • Kasus
    • Aksi Masa
    •   Back
    • Siaran Pers
    • Catatan Akhir Tahun
    • Laporan Lingkungan Hidup
    • Produk Pengetahuan Lingkungan Hidup
    • Artikel
    • Kertas Rekomendasi
    • Lembar Fakta
    •   Back
    • Transisi Energi
    • Bencana Iklim
    •   Back
    • Pesisir dan Pulau Pulau Kecil
    • Tata Kelola Sampah
    • Krisis Iklim
    • Perempuan Dan Lingkungan Hidup
    • Perebutan Ruang
    • Pencemaran
    • Hak Atas Air
    • Pengelolaan Sampah
    • Plastik
    • Transisi Energi
    • Bencana Iklim
    • Ruang Terbuka Hijau
    • Sungai
    • Reklamasi
    • Udara
    • Air Dan Tanah
    •   Back
    • Pengelolaan Sampah
    • Plastik
    •   Back
    • Ruang Terbuka Hijau
    • Sungai
    • Reklamasi
Load More

End of Content.

Terima kasih telah mendaftarkan email anda Ops! Something went wrong, please try again.

Quick Links

Recent news

  • All Post
  • Aksi Kita
  • Isu Jakarta
  • Publikasi
  • Uncategorized
    •   Back
    • Udara
    • Air Dan Tanah
    •   Back
    • Kasus
    • Aksi Masa
    •   Back
    • Siaran Pers
    • Catatan Akhir Tahun
    • Laporan Lingkungan Hidup
    • Produk Pengetahuan Lingkungan Hidup
    • Artikel
    • Kertas Rekomendasi
    • Lembar Fakta
    •   Back
    • Transisi Energi
    • Bencana Iklim
    •   Back
    • Pesisir dan Pulau Pulau Kecil
    • Tata Kelola Sampah
    • Krisis Iklim
    • Perempuan Dan Lingkungan Hidup
    • Perebutan Ruang
    • Pencemaran
    • Hak Atas Air
    • Pengelolaan Sampah
    • Plastik
    • Transisi Energi
    • Bencana Iklim
    • Ruang Terbuka Hijau
    • Sungai
    • Reklamasi
    • Udara
    • Air Dan Tanah
    •   Back
    • Pengelolaan Sampah
    • Plastik
    •   Back
    • Ruang Terbuka Hijau
    • Sungai
    • Reklamasi