Ekspor Sedimentasi, Wajah Palsu Pemulihan Laut.

Pemerintah, untuk kesekian kalinya, Kembali menunjukkan ketidakberpihaknnya terhadap kelangsungan lingkungan hidup dan penghidupan masyarakat. Melalui penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 Tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut, pemerintah telah mengancam kelangsungan pesisir, laut, pulau-pulau kecil, termasuk masyarakat yang hidup di dalamnya.

Peraturan yang diklaim sebagai upaya pemulihan pendangkalan laut tersebut tidaklah lebih dari kedok bisnis belaka. Dari beberapa pasal yang terkandung, pasal 9 ayat 2, pasal 10, dan pasal 20 menegaskan produk hukum ini dibuat untuk kepentingan pengembang. Terlebih aturan ini juga secara tegas menjadikan sedimentasi di laut sebagai komoditas ekspor yang sarat kepentingan ekonomi.

Selain itu, pemanfaatan sedimen di laut yang disebut dalam aturan ini juga akan merusak ekosistem perairan. Sebab, material sedimentasi telah tercampur dengan material bawah laut. Terlebih jenis sedimentasi yang bisa dimanfaatkan menurut aturan tersebut juga masih bias. Ada dua jenis sedimentasi laut yang bisa dimanfaatkan, yaitu pasir laut dan material lain dalam bentuk lumpur. Terminologi material lain dalam bentuk lumpur begitu ambigu, sebab tidak ada kepastian mengenai apa saja material lain yang dimaksud tersebut. Dengan begitu, besar kemungkinan proses pengambilan sedimentasi turut menyedot material lain yang dianggap sedimentasi.

Langkah tersebut jelas bertentangan dengan komitmen perlindungan ekosistem laut, khususnya wilayah pesisir dan pulau kecil. Dalam Undang-undang No.27 Tahun 2007 juncto Undang-undang No.1 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, secara jelas penambangan mineral yang merusak lingkungan dilarang.

Lebih lanjut, peraturan ini juga berpotensi mengaburkan tanggung jawab pemerintah dan korporasi untuk meminimilisir sedimentasi yang ditimbulkan akibat pembangunan kota. Dalam konteks Jakarta, sedimentasi di perairan teluk Jakarta tidak terlepas dari pembangunan infrastruktur dan alih fungsi daerah aliran sungai di hulu. Sedimentasi tersebut yang kemudian banyak dipermaslahkan karena turut menimbulkan permasalahan seperti pendangkalan sungai, muara, laut, serta banjir.

Alih-alih menghentikan aktivitas yang menimbulkan sedimentasi dari sungai sampai laut, melalui peraturan ini, pemerintah justru mencoba mencari celah keuntungan dari persoalan yang mereka buat sendiri. Lebih lanjut, potensi mengaburkan tanggung jawab persoalan sedimentasi tersebut bisa dengan mudah dijawab oleh pemerintah dengan skema ekspor sedimentasi.

Belajar dari Reklamasi Teluk Jakarta

Dibukanya keran ekspor pasir laut juga menunjukkan bagaimana pemerintah sama sekali tidak memiliki simpati pada penderitaan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil, termasuk nelayan. Tanpa ekspor saja, aktivitas tambang pasir dan reklamasi telah menimbulkan kerugian pada masyarakat yang menggantungkan hidupnya dari ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil.

Reklamasi Teluk Jakarta misalnya, reklamasi yang kala itu membutuhkan pasir sekurang-kurangnya 300 juta meter kubik tersebut telah meninggalkan luka mendalam, baik bagi masyarakat di lokasi reklamasi, maupun di area pengambilan pasir. Di Kepulauan Seribu, masyarakat Pulau Pari merasakan betul bagaimana pengambilan pasir laut turut berdampak pada sumber penghidupan mereka. Penyedotan pasir untuk reklamasi Teluk Jakarta tersebut, selain menghilangkan gundukan pasir juga merusak terumbu karang. Imbasnya, ikan-ikan tangkapan nelayan pun berkurang.

Melansir laporan Majalah Tempo edisi Juni 2015, pengambilan pasir di Kepulauan Seribu sudah terjadi jauh sebelum pemerintah berencana mereklamasi Teluk Jakarta. Sejak tahun 1970, setidaknya lima pulau sudah hilang. Catatan Pemerintah Kepulauan Seribu, paling tidak terdapat 15 lokasi pengambilan pasir yang diduga untuk reklamasi.

Serupa dengan Kepulauan Seribu, pengambilan pasir laut untuk reklamasi Teluk Jakarta juga telah merusak ekosistem pesisir di sekitar Pulau Tunda dan Desa Lontar, Banten. Di lokasi ini, penyedotan pasir mengakibatkan abrasi dan pendangkalan laut dangkal. Imbasnya, tambak dan budidaya rumput laut masyarakat rusak bahkan rata dengan laut. Selain itu, nelayan juga kehilangan mata pencaharian sebab ikan semakin sulit dicari akibat penyedotan pasir yang turut merambah area tangkap nelayan.

Kerusakan ekosistem perairan dan hilangnya mata pencaharian tersebut tak pelak menimbulkan konflik sosial antara masyarakat di sekitar Lontar dan Pulau Tunda dengan korporasi penyedot pasir. Masyarakat yang mencoba mengusir kapal penyedot pasir acapkali menerima intimidasi dari korporasi serta aparat keamanan. Tiga warga bahkan harus terkena tembakan aparat Ketika melakukan aksi penghadangan kapal penyedot pasir.

Selain itu, hasil investigasi Walhi pada 2013 juga menunjukkan bahwa kerusakan laut akibat tambang pasir di Desa Lontar, Banten, telah menyebabkan beberapa persoalan sosial seperti hilangnya rumah-rumah masyarakat akibat abrasi, peningkatan angka kemiskinan, serta peningkatan jumlah perempuan buruh migran yang berimplikasi pada peningkatan kekerasan terhadap perempuan.

Ancaman Baru Pesisir dan Pulau-pulau Kecil di Tengah Bekap Krisis Iklim

Pesisir Jakarta dan Kepulauan Seribu sedang menghadapi akumulasi kerusakan lingkungan akibat krisis iklim dan pembangunan yang menggerus ekosistem perairan. Bagian utara Jakarta sudah tidak mampu menampung beban bangunan sehingga terus terjadi penurunan muka tanah. Semakin ke pesisir, ketiadaan mangrove di mayoritas pesisir Jakarta juga menambah kerentanan wilayah utara Jakarta.

Sementara itu, Kepulauan Seribu tengah menghadapi privatisasi pulau dan rencana pembangunan pariwisata besar-besaran yang berpotensi turut mendegradasi ekosistem perairan. Pulau Tengah di gugusan Pulau Pari telah memulai kerusakan lingkungan dengan mereklamasi laut di sekitarnya.

Dengan kondisi pesisir dan pulau-pulau kecil Jakarta yang sudah mengalami pelbagai bencana akibat kerusakan lingkungan tersebut, peraturan pemerintah yang membuka keran ekspor pasir laut turut menambah kerentanan kedua wilayah tersebut.

Jika betul-betul berniat mengatasi pendangkalan laut, pemerintah harusnya memulai dari hulu. Mengaudit infrastruktur atau aktivitas yang menimbulkan sedimentasi kemudian mencegahnya. Bukan diam menunggu persoalan lingkungan dan menjadikan persoalan tersebut sebagai komoditas bisnis.

Category

  • All Posts
  • Aksi Kita
  • Isu Jakarta
  • Publikasi
  • Uncategorized
    •   Back
    • Udara
    • Air Dan Tanah
    •   Back
    • Kasus
    • Aksi Masa
    •   Back
    • Siaran Pers
    • Catatan Akhir Tahun
    • Laporan Lingkungan Hidup
    • Produk Pengetahuan Lingkungan Hidup
    • Artikel
    • Kertas Rekomendasi
    • Lembar Fakta
    •   Back
    • Transisi Energi
    • Bencana Iklim
    •   Back
    • Pesisir dan Pulau Pulau Kecil
    • Tata Kelola Sampah
    • Krisis Iklim
    • Perempuan Dan Lingkungan Hidup
    • Perebutan Ruang
    • Pencemaran
    • Hak Atas Air
    • Pengelolaan Sampah
    • Plastik
    • Transisi Energi
    • Bencana Iklim
    • Ruang Terbuka Hijau
    • Sungai
    • Reklamasi
    • Udara
    • Air Dan Tanah
    •   Back
    • Pengelolaan Sampah
    • Plastik
    •   Back
    • Ruang Terbuka Hijau
    • Sungai
    • Reklamasi
Load More

End of Content.

Terima kasih telah mendaftarkan email anda Ops! Something went wrong, please try again.

Quick Links

Recent news

  • All Post
  • Aksi Kita
  • Isu Jakarta
  • Publikasi
  • Uncategorized
    •   Back
    • Udara
    • Air Dan Tanah
    •   Back
    • Kasus
    • Aksi Masa
    •   Back
    • Siaran Pers
    • Catatan Akhir Tahun
    • Laporan Lingkungan Hidup
    • Produk Pengetahuan Lingkungan Hidup
    • Artikel
    • Kertas Rekomendasi
    • Lembar Fakta
    •   Back
    • Transisi Energi
    • Bencana Iklim
    •   Back
    • Pesisir dan Pulau Pulau Kecil
    • Tata Kelola Sampah
    • Krisis Iklim
    • Perempuan Dan Lingkungan Hidup
    • Perebutan Ruang
    • Pencemaran
    • Hak Atas Air
    • Pengelolaan Sampah
    • Plastik
    • Transisi Energi
    • Bencana Iklim
    • Ruang Terbuka Hijau
    • Sungai
    • Reklamasi
    • Udara
    • Air Dan Tanah
    •   Back
    • Pengelolaan Sampah
    • Plastik
    •   Back
    • Ruang Terbuka Hijau
    • Sungai
    • Reklamasi