Memasuki bulan Desember, Sebagian wilayah Jakarta Utara, Jakarta Barat, dan Kepulauan Seribu harus berjibaku menahan terjangan banjir rob yang terjadi selama berhari-hari. Pantauan terakhir, dari berbagai sumber, hingga Selasa 7 Desember 2021, sudah ada 10 kelurahan yang terdampak banjir rob.
Menghimpun informasi dari warga terdampak banjir rob di beberapa wilayah, terdapat beberapa hal penting yang menjadi catatan WALHI Jakarta dalam memandang fenomena rob yang terjadi di penghujung tahun 2021 ini.
Juli 2020 silam, Pulau Pari mengalami banjir rob terbesar yang pernah mereka alami. Selang satu tahun, mereka kembali mengalami banjir rob, bahkan lebih tinggi. Jika tahun 2020 ketinggiannya mencapai 50 cm, kali ini bajir yang merendam Sebagian wilayah Pulau Pari naik menjadi sekitar 100 cm atau naik dua kali lipat.
Selain itu, berdasarkan pengalaman masyarakat pesisir Jakarta, dan Pulau Pari, banjir rob memang sudah biasa terjadi pada bulan-bulan tertentu. Namun siklus alami tersebut kini semakin tidak bisa diprediksi. Seperti diceritakan nelayan Pulau Pari dan Kampung Marunda Kepu, banjir rob biasanya terjadi pada rentang waktu Oktober sampai pertengahan November. Sedangkan pada tahun ini, rob terjadi pada bulan Desember yang seharusnya sudah berganti angin musim.
Cakupan wilayah kelurahan Jakarta yang terdampak banjir rob juga semakin bertambah. Seperti diberitakan beberapa media, pantai Ancol, Jakarta Utara, pun untuk pertama kalinya mengalami banjir rob. Berdasarkan data yang diolah WALHI Jakarta dari berbagai sumber, cakupan wilayah terdampak banjir rob di Jakarta memang memiliki tren yang cenderung naik. Pada tahun 2010, setidaknya ada tiga kelurahan di DKI Jakarta yang terdampak banjir rob. Angka tersebut naik dua kali lipat pada tahun 2020 di mana jumlah wilayah terdampak banjir rob menjadi tujuh kelurahan. Bahkan, pada tahun ini, cakupan wilayah terdampak rob tersebut kembali bertambah menjadi 10 kelurahan.
sumber: Walhi Jakarta, diolah dari berbagai sumber
Dari beragam catatan tersebut, wajar jika kemudian fenomena rob yang terjadi belakangan ini tidak dipandang sebagai fenomena alamiah biasa, melainkan sebuah bencana ekologis yang terjadi akibat berubahnya tatanan ekosistem yang disebabkan aktivitas manusia, khususnya, eksploitasi wilayah pesisir Jakarta oleh pemerintah. Hal ini sejalan dengan penuturan beberapa nelayan yang merasakan adanya perbedaan banjir rob dalam beberapa tahun ke belakang, khususnya pasca beragam pembangunan di laut dimulai. Di mana pasca pembangunan tersebut, rob menjadi lebih tinggi, lebih lama, dan tidak menentu.
Kejadian rob yang baru-baru ini terjadinya adalah tamparan keras bagi pemerintah yang cenderung menyepelekan kesaksian masyarakat pesisir, bahkan ramalan-ramalan berbasis sains terkait kerentanan Jakarta terhadap krisis iklim. Alih-alih berkaca dan Menyusun rencana strategis mitigasi krisis iklim, pemerintah justru makin gencar mengeruk sumber daya alam dengan mengesampingkan keseimbangan lingkungan.
Sebagai benteng Ibu Kota Negara, Teluk Jakarta mestinya dipulihkan dengan mengembalikan ruang-ruang penunjang daya dukung lingkungan. Bukan malah membangun tanggul raksasa yang justru akan menjadi masalah di masa mendatang. Lebih lanjut, pemerintah harus mengakui bahwa Jakarta sudah tidak baik-baik saja dan segera mendeklarasikan krisis iklim!