Memperingati Hari Bumi 2019, WALHI DKI Jakarta bersama organisasi pemuda dan mahasiswa mendesak Pemerintah melakukan upaya-upaya pemulihan agar lingkungan hidup termasuk 10 juta lebih warga Jakarta di dalamnya keluar dari darurat ekologis
Jakarta 22 April 2019. Jakarta masih darurat ekologis, situasi dimana terjadinya kegentingan yang disebabkan hilangya keseimbangan ekologis akibat akumulasi kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup. Sementara Pemerintah DKI Jakarta masih saja mengabaikan berbagai fakta dan kegentingan yang terjadi. Berbagai krisis belum mampu dijawab dengan solusi yang menyentuh hingga akar maupun substansi persoalan. Berikut beberapa persoalan lingkungan hidup yang terus mengalami krisis:
Upaya Pemerintah DKI mengatasi krisis sungai belum juga menunjukkan sebuah kemajuan signfikan, padahal laporan Pemerintah DKI sendiri sudah mengungkapkan mayoritas sungai di Jakarta mengalami beban pencemaran yang tinggi/berat. Konsep “naturalisasi” Pemerintah DKI yang sering di lemparkan kepada public belum jelas menjawab bagaimana menyelesaikan krisis sungai-sungai di Jakarta. Termasuk juga Peraturan Gubernur (Pergub) yang baru saja di keluarkan, yakni nomor 31 tahun 2009 tentang Pembangunan dan Revitalisasi Prasarana Sumber Daya Air Secara Terpadu Dengan Konsep Naturalisasi. Pergub ini masih belum menjawab bagaimana pemulihan kualitas sumber daya air. Artinya masa depan kualitas sungai di Jakarta belum memiliki kepastian. Harusnya dengan kewenangannya Gubernur dapat melakukan audit dan review perizinan seluruh industri di Jakarta yang berpotensi mencemari (termasuk juga berkoordinasi dengan Pemerintah Daerah sekitar Jakarta), juga melakukan pengawasan yang ketat dan penegakan hukum. Namun agenda belum juga terlihat signifikan sampai saat ini. Pergub ini juga minim membuka ruang pelibatan warga, meskipun disinggung dalam beberapa pasal, namun tidak pada proses perencanaan dan pelaksanaan.
Pada isu sampah, Pemprov DKI dan Pemerintah Pusat belum menghadirkan kebijakan dan aksi yang secara nyata menjawab persoalan utama sampah plastik dan kemasan, yakni tanggung jawab produsen. Bukannya menekan dan mengejar tanggung jawab produsen, pemerintah malah menghadirkan solusi palsu, yakni dengan berencana melakukan pengelolaan sampah berbasis bakar-bakaran yang artinya tanggung jawab produsen diabaikan. Kami menduga solusi palsu tersebut diperuntukkan melarikan tanggung jawab produsen, dan kemudian masyarakatlah yang harus menanggung beban tersebut. Pemerintah DKI harusnya mengeluarkan kebijakan yang progresif, seperti larangan penggunaan kantong plastic dan styrofoam. Kemudian pemerintah pusat segera membuat larangan kepada produsen untuk tidak menggunakan kemasan produk yang tidak ramah lingkungan. Sesuai dengan perintah Undang-Undang Nomor 18 tahun 2008, tentang Pengelolaan Sampah. Jika langkah-langkah tersebut tidak segera dilakukan maka Pemerintahlah yang sesungguhnya membawa kita kedalam keadaan darurat sampah.
Di waktu yang bersamaan, sikap pemerintah terhadap kondisi kualitas udara terkesan masih tutup mata dan seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Angka kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang mengatakan bahwa sepanjang tahun 2018 sebagian besar hari di Jakarta dalam keadaan buruk belum mendapat respon oleh Pemerintah DKI. Hal ini berbeda dengan negara lain di regional yang merespon cepat ketika terjadi pencemaran udara di wilayahnya, seperti Bangkok. Padahal sepanjang tahun 2019 pun beberapa stasiun pemantauan kualitas udara sering menunjukan kualitas udara Jakarta tidak sehat di beberapa titik. Selain masih buruknya manajemen transportasi, absennya Pemerintah DKI untuk melakukan pengawasan dan penegakan hukum terhadap sumber pencemar tidak bergerak (seperti industri), juga parameter baku mutu udara yang terlalu longgar merupakan penyebab warga Jakarta dan sekitarnya tidak mendapatkan kualitas udara yang baik dan sehat.
Ruang Hidup Warga dan Ekosistem Penting Terus Tersingkir
Selain beban pencemaran dan kerusakan yang terus dialami warga Jakarta, ekosistem penting yang menjadi sumber-sumber kehidupan pun terus terancam oleh laju pembangunan konvensional. Seperti yang tengah dialami oleh masyarakat pulau-pulau kecil di Kepulauan Seribu, yang sumber-sumber kehidupannya oleh terancam dan tertekan oleh industri pariwisata yang aktivitasnya seringkali melakukan praktik-praktik pengrusakan ekosistem penting di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil tersebut. Persoalannya utamanya adalah pengusaan pulau-pulau kecil oleh perusahaan dan individu. Setidaknya lebih dari 60 atau mayoritas pulau-pulau kecil tersebut dikuasi oleh perusahaan dan individu. Kami menduga rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang saat ini sedang disusun akan semakin melanggengkan perampasan dan pengrusakan wilayah kelola rakyat tersebut. Sementara model-model pengelolaan oleh rakyat yang selama ini memiliki peran penting dalam perlindungan dankeberlanjutan ekosistem penting tersebut cenderung diabaikan.
Atas berbagai krisis di atas, kami mendesak pemerintah yang antara lain:
- Berhenti membebani Jakarta dan segera melakukan upaya-upaya pemulihan agar lingkungan hidup termasuk 10 juta lebih warga Jakarta di dalamnya keluar dari darurat ekologis. Upaya pemulihan harus dilakukan secara terbuka dan partisipatif bersama warga yang dilakukan secara terukur dan terarah.
- Melakukan penegakan hukum, mulai dari pengawasan, review izin dan audit kepatuhan lingkungan hidup kepada seluruh industri berpotensi mencemari dan merusakan lingkungan hidup.
- Melindungi wilayah kelola rakyat masyarakat ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil dan juga sumber-sumber kehidupan penting di dalamnya.