“Belajarlah dari Hareuga,” tutur Eko Purwadi, dari Incuputu Pangauban Ciliwung. Baginya, manusia sudah kelewat batas sampai sebuah bunga pun sampai turut memberi pelajaran pada manusia untuk tidak berbuat semena-mena pada alam.
Hareuga seringkali dianggap sebagai tanaman pengganggu karena sifatnya yang liar dan mudah tumbuh di lahan-lahan terbengkalai, puing bangunan misalnya. Tapi, dalam kacamata pegiat ekosistem Ciliwung, Hareuga lebih dari itu, kehadirannya adalah kritik dari alam untuk kerakusan manusia. Ia adalah simbol perlawanan dari alam yang akan mengambil alih lahan-lahan yang sejatinya tidak diperuntukkan bagi manusia, beton di sempadan sungai contohnya.
“Hareuga adalah bunga kecil dan liar, dia pelan-pelan mengoreksi orang-orang yang membeton Sungai Ciliwung,” kata Eko. Dia percaya, bukan hanya manusia yang melawan pembetonan Ciliwung, bunga pun turut.
Di pinggiran Ciliwung Condet sendiri, hareuga tumbuh subur. Batang-batangnya merambat di antara susunan beton yang dibangun pemerintah sejak lima tahun silam, sebuah pembangunan yang seharusnya tidak dilakukan. Pemerintah berdalih, pembetonan itu merupakan upaya menormalisasi sungai. Nyatanya, proyek yang menghabiskan dana Rp 800 miliar tersebut justru merusak ekosistem sungai.
Sempadan yang ditanam beton pada dasarnya adalah bagian dari ekosistem sungai yang harusnya menjadi area netral. Sempadan tersebut berfungsi sebagai penampungan air sementara ketika debit sungai naik. Ketika sempadan dibeton, sungai akan mengalami penyempitan dan kehilangan daya tampungnya sehingga aliran air sungai akan semakin cepat, hasilnya sungai akan mudah meluap dan mengakibatkan banjir.
“Sungai bukan ruang kosong, tapi ruang yang penuh keanekaragaman hayati. Sungai tidak bisa dibeton karena akan membunuh semua ekosistem yang ada,” tutup Eko.