SIARAN PERS-PULAU KECIL MELAWAN RAKSASA SEMEN: SIDANG PERDANA GUGATAN IKLIM EMPAT WARGA PULAU PARI TERHADAP HOLCIM DI SWISS

SIARAN PERS
PULAU KECIL MELAWAN RAKSASA SEMEN: SIDANG PERDANA GUGATAN IKLIM EMPAT WARGA
PULAU PARI TERHADAP HOLCIM DI SWISS
Zug, Swiss – 3 September 2025

Hari ini, Pengadilan Cantonal (provinsi) Zug, Swiss, menggelar sidang pertama gugatan iklim yang diajukan oleh
empat warga Pulau Pari, Indonesia, terhadap Holcim sebagai perusahaan semen terbesar di dunia. Gugatan ini
diajukan oleh Asmania, Arif Pujianto, Edi Mulyono, dan Mustaghfirin. Dalam sidang perdana, Asmania dan Arif
hadir langsung didampingi kuasa hukum Cordelia Bahr.

Kuasa hukum penggugat menegaskan bahwa para penggugat mengalami kerugian nyata akibat krisis iklim: hasil
tangkapan ikan menurun, banjir rob merusak rumah dan mencemari sumber air bersih, jumlah wisatawan yang
terus berkurang, hingga penyusutan daratan pulau yang diprediksi hanya tersisa sepertiga pada 2050. Atas dasar
itu, mereka menuntut Holcim untuk mengurangi emisi sebesar 69 persen pada tahun 2040 sesuai dengan target
IPCC untuk menjaga suhu bumi di bawah 1,5°C, menghentikan tambahan emisi baru, serta memberikan
kompensasi finansial, dan menanggung biaya adaptasi warga agar dapat melindungi diri dan tempat tinggal
mereka. Tuntutan ini bukan hanya tentang ganti rugi, tetapi tentang hak dasar untuk bertahan hidup di tengah
krisis iklim yang semakin memburuk.

Asmania, mewakili penggugat, menyampaikan langsung di depan hakim:“Setiap ton CO₂ yang dikurangi sangat
berharga bagi kami. Setiap pendanaan yang membantu kami beradaptasi dan memperbaiki kerusakan sangat
berarti bagi masa depan kami. Oleh karena itu, kami memohon kepada hakim agar tuntutan kami dikabulkan.”
Kuasa hukum penggugat, Cordelia Bähr, menjelaskan bahwa gugatan terhadap Holcim didasarkakn pada hukum
Perdata Swiss yang menegaskan siapapun yang hak pribadinya dilanggar secara tidak sah dapat mengajukan
gugatan ke pengadilan untuk melindungi dirinya. Lalu dia dapat meminta ganti rugi finansial, menghentikan
pelanggaran yang sedang terjadi, atau menetapkan bahwa pelanggaran tersebut tidak sah jika terus menimbulkan
gugatan.

Tak hanya itu, gugatan iklim terhadap Holcim juga sejalan dengan UU Perlindungan Iklim (Climate Protection Law)
Swiss yang baru disahkan pada Bulan Juni 2023 lalu yang menegaskan bahwa tuntutan hukum secara perdata
dalam konteks perubahan iklim dapat dilakukan.

Karena gugatan ini merupakan yang pertama di Swiss, pengadilan Swiss belum pernah memutuskan kasus
semacam ini. “Namun, tugas pengadilan tidak hanya menetapkan hukum pada situasi yang telah diketahui, tetapi
juga dapat menetapkan hukum baru untuk menyikapi perkembangan kehidupan masyarakat yang terus
berkembang,” tambah Cordelia.

RESPON HOLCIM
Sementara itu, kuasa hukum Holcim, Stefanie Pfisterer dan Felix Dasser, mencoba menyangkal tanggung jawab
dengan menuding bahwa gugatan ini “diorkestrasi” oleh WALHI, ECCHR (European Centre for Constitutional and
Human Rights), dan HEKS sebagai organisasi pendamping penggugat.

Sikap tidak pantas juga ditunjukkan oleh Felix Dasser dengan melemparkan koin sebesar CHF 4 (sekitar
Rp80.000) di hadapan persidangan untuk menunjukan bahwa klaim keuangan yang terbatas yang diajukan
penggugat tidak relevan. Tindakan tersebut merupakan penghinaan terhadap penggugat yang sedang
memperjuangkan keberlanjutan hidupnya dari ancaman krisis iklim yang bahkan tidak mereka lakukan. Hal ini
sekaligus memperlihatkan arogansi Holcim sebagai salah satu penyumbang emisi terbesar di dunia yang berusaha
berkilah dan meremehkan penderitaan penggugat yang terdampak langsung oleh krisis iklim.

Merespon tuduhan Holcim yang menyebut gugatan ini “diorkestrasi”, WALHI memberikan bantahan langsung.
“Holcim berusaha berkilah dari fakta bahwa lebih dari 7 miliar ton emisi CO2 yang mereka hasilkan sejak tahun
1950 sampai sekarang, telah menghancurkan kehidupan para penggugat selama hampir satu dekade. Tuduhan
bahwa gugatan ini ‘diorkestrasi’ hanyalah kedok untuk menghindari tanggung jawab atas kerusakan nyata yang
mereka timbulkan,” tegas Suci Fitriah Tanjung, Direktur Eksekutif WALHI Jakarta, di hadapan media massa
setelah persidangan berlangsung.

Majelis hakim Pengadilan Cantonal Zug akan menyampaikan putusan resmi terhadap kasus ini dalam beberapa
pekan ke depan. Sidang ini menjadi salah satu tonggak penting dalam perjuangan hukum transnasional. Untuk
pertama kalinya, empat warga dari sebuah pulau kecil di Indonesia berdiri di hadapan pengadilan di Eropa,
menuntut pertanggungjawaban salah satu korporasi besar dunia atas kontribusinya terhadap krisis iklim.
Gugatan ini menegaskan bahwa krisis iklim bukan sekadar isu global abstrak, melainkan persoalan hidup dan mati
bagi individu dan keluarga yang setiap hari berjuang melawan dampaknya. Lebih dari sekadar kasus hukum,
sidang ini adalah suara lantang dari para penggugat yang menuntut keadilan iklim agar mereka dapat terus
bertahan, menjaga rumah, dan melindungi masa depan anak-anak mereka dari ancaman tenggelamnya pulau
yang mereka tinggali.

Putusan dalam kasus ini berpotensi menjadi preseden internasional. Jika gugatan dikabulkan, maka akan tercipta
landasan hukum baru yang membuka jalan bagi warga dari negara-negara lain untuk menuntut tanggung jawab
serupa dari perusahaan-perusahaan besar penyumbang emisi. Perjuangan empat warga Pulau Pari bukan hanya
tentang nasib mereka sendiri, tetapi juga tentang membangun harapan dan keberanian bagi komunitas rentan di
seluruh dunia untuk menuntut keadilan iklim.

Informasi lebih lanjut
⎯ Suci Fitriah Tanjung, Direktur Eksekutif WALHI Jakarta, 0856-1111-356
⎯ Asmania, Penggugat Iklim dari Pulau Pari, 087885042731

  • All Posts
  • Aksi Kita
  • Isu Jakarta
  • Publikasi
  • Suara Sahabat
    •   Back
    • Udara
    • Air Dan Tanah
    •   Back
    • Kasus
    • Aksi Masa
    •   Back
    • Siaran Pers
    • Catatan Akhir Tahun
    • Laporan Lingkungan Hidup
    • Produk Pengetahuan Lingkungan Hidup
    • Artikel
    • Kertas Rekomendasi
    • Lembar Fakta
    • Buletin
    •   Back
    • Transisi Energi
    • Bencana Iklim
    •   Back
    • Pesisir dan Pulau Pulau Kecil
    • Tata Kelola Sampah
    • Krisis Iklim
    • Perempuan Dan Lingkungan Hidup
    • Perebutan Ruang
    • Pencemaran
    • Hak Atas Air
    • Pengelolaan Sampah
    • Plastik
    • Transisi Energi
    • Bencana Iklim
    • Ruang Terbuka Hijau
    • Sungai
    • Reklamasi
    • Udara
    • Air Dan Tanah
    •   Back
    • Pengelolaan Sampah
    • Plastik
    •   Back
    • Ruang Terbuka Hijau
    • Sungai
    • Reklamasi
Report KPUD

01/10/2024/

WALHI Jakarta menemui Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi DKI Jakarta pada Selasa, 1 Oktober 2024, untuk menegaskan urgensi isu...

Load More

End of Content.

Terima kasih telah mendaftarkan email anda Ops! Something went wrong, please try again.

Quick Links

Recent news

  • All Post
  • Aksi Kita
  • Isu Jakarta
  • Publikasi
  • Suara Sahabat
    •   Back
    • Udara
    • Air Dan Tanah
    •   Back
    • Kasus
    • Aksi Masa
    •   Back
    • Siaran Pers
    • Catatan Akhir Tahun
    • Laporan Lingkungan Hidup
    • Produk Pengetahuan Lingkungan Hidup
    • Artikel
    • Kertas Rekomendasi
    • Lembar Fakta
    • Buletin
    •   Back
    • Transisi Energi
    • Bencana Iklim
    •   Back
    • Pesisir dan Pulau Pulau Kecil
    • Tata Kelola Sampah
    • Krisis Iklim
    • Perempuan Dan Lingkungan Hidup
    • Perebutan Ruang
    • Pencemaran
    • Hak Atas Air
    • Pengelolaan Sampah
    • Plastik
    • Transisi Energi
    • Bencana Iklim
    • Ruang Terbuka Hijau
    • Sungai
    • Reklamasi
    • Udara
    • Air Dan Tanah
    •   Back
    • Pengelolaan Sampah
    • Plastik
    •   Back
    • Ruang Terbuka Hijau
    • Sungai
    • Reklamasi