Jum’at 26 Agustus 2021. Sejumlah aktivis WALHI DKI Jakarta melakukan aksi protes di depan Balaikota DKI Jakarta. Dalam aksinya, WALHI Jakarta menyikapi langkah pemprov yang terus mengebut pembangunan insinerator di Taman Tebet dan mengabaikan kondisi-kondisi yang seharusnya menjadi pertimbangan untuk membatalkan rencana tersebut, terlebih penggunaan insinerator juga akan diaplikasikan di beberapa kecamatan di Jakarta nantinya. “Entah semangat apa yang mendasari Pemprov ngebut mengerjakan proyek ini, proyek yang merupakan contoh buruk bagi edukasi pengelolaan sampah kepada publik. Contoh buruk proyek bagi pemanfaatan ruang terbuka hijau,” Kata Pengkampanye WALHI DKI Jakarta, Rehwinda Naibaho. Selain itu, ambisi Pemprov DKI Jakarta mengebut proyek ini juga mengabaikan fakta bahwa fasilitas insinerator di Soreang, Bandung, yang mereka jadikan pilot/contoh masih bermasalah. Dalam uji cobanya, fasilitas tersebut mengeluarkan asap hitam dan mendapatkan keluhan warga sekitar. “Omong Kosong Kebijakan” Sebenarnya Pemprov DKI Jakarta telah memiliki aturan pengelolaan sampah berbasis Rukun Warga (RW), yakni Peraturan Gubernur No.77 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Sampah Lingkup Rukun. Warga WALHI DKI Jakarta mengapresiasi Gubernur DKI Jakarta mengeluarkan Pergub tersebut. “Peraturan ini akan menjadi sia-sia karena pada skala kecamatan dilakukan dengan teknologi bakar-bakaran sampah (insinerator). Pada tingkat tapak sudah baik pengaturannya, mengapa pada tingkatan selanjutnya malah menjadi buruk. Ini semakin menunjukkan bahwa Dinas Lingkungan Hidup Jakarta tidak memahami regulasi yang menjadi tanggung jawabnya, dan tidak mampu menjalankan pengelolaan sampah. Sehingga memilih jalan pintas.” Tambah Rehwinda Pemprov DKI kembali mengulang masalah-masalah laten yang mereka sendiri ciptakan, kumpul-angkut-buang dan kumpul-angkut-bakar. Kumpul angkut buang adalah cara buruk Pemprov mengelola sampah Jakarta, dan proses ini tidak menghargai usaha warga yang sudah berjalan melakukan pemilahan di tingakatan rumah tangga. Pemprov DKI Jakarta, khususnya Dinas Lingkungan Hidup seharusnya segera melakukan upaya pembinaan dan pendampingan kepada warga (tingkat Rukun Warga) berupa pendidikan dan pelatihan tentang pengelolaan sampah, penyuluhan dan bimbingan teknis, serta penyebarluasan informasi. Jika upaya ini dapat dilakukan secara serius maka pada tingkatan kecamatan jumlah sampah akan berkurang signifikan, dan tidak membebankan Tempat Penampungan Sampah (TPS) 3 R pada skala kecamatan. Narahubung: Rehwinda Naibaho, 081319117808
Menolak Tenggelam: Krisis Yang Tak Kunjung Usai
Fakta-fakta bahwa Jakarta menuju tenggelam bukanlah isapan jempol, fakta-fakta ini sudah ditunjukkan lebih dari satu dekade lalu. Penurunan (amblesnya) permukaan tanah sejak lama menjadi persoalan yang paling disoroti, penyebabnya adalah ekstraksi air tanah secara besar-besaran. Akibatnya ancaman banjir datang baik dari laut maupun sungai (luapan hujan). Di tengah situasi tersebut, ancaman datang di generasi saat ini, yakni krisis iklim. Berdasarkan penelitian, kenaikan permukaan laut rata-rata global menjadi 2,5 mm per tahun selama dua dekade terakhir.[1] Jika tidak ada upaya serius yang dilakukan oleh pemerintah dalam pengambilan kebijakan untuk menghentikan laju krisis iklim, maka dapat dipastikan akan mempercepat tenggelamnya Jakarta. Salah satu wilayah yang rentan terdampak perubahan iklim di Jakarta berada di ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil (kep. Seribu). Selain terdampak langsung juga “diperlemah” oleh pembangunan yang merusak ekosistem penting yang merupakan “pertahanan alami” suatu wilayah. Seperti yang terjadi di Pulau Pari pada tahun 2020 lalu, pulau ini mengalami banjir Rob dua kali dalam setahun yakni di bulan November dan Juli. Banjir rob yang terjadi di bulan November merupakan yang terbesar dari sepanjang sejarah dan pengalaman masyarakat selama menghuni pulau. Pemerintah sendiri tidak melihat bagaimana dampak rob mempengaruhi ekonomi dan kehidupan sosial masyarakat di pesisir dan pulau-pulau kecil, karena hanya focus pada ekonomi pertumbuhan. Hanya melihat bagaimana pesisir dan pulau-pulau kecil dapat ditekan untuk pendapatan negara dan pemilik modal. Kajian yang dilakukan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI, 2001) telah menemukan sejumlah pulau di Kep. Seribu rusak akibat industri pariwisata. Bersamaan dengan itu, kerentanan pesisir dan pulau-pulau kecil juga terus diperparah oleh pencemaran dari berbagai limbah dan polusi juga terus menghantui. Sejak Jakarta menjadi wilayah yang terus “ditekan” untuk melayani kebutuhan industri nasional. Setidaknya lebih dari 40 tahun teluk Jakarta menerima beban pencemaran. “Kebijakan” Itu Tidak Bajik! Menolak Tenggelam Salah satu tanda bahwa Jakarta menuju tenggelam adalah kejadian banjir dan rob. Akan tetapi sampai saat ini pemerintah belum melihat tragedi banjir besar yang pernah dialami oleh wilayah Jakarta sebagai masalah serius. Banjir Rob misalnya yang setiap tahunnya terjadi di beberapa titik rentan di wilayah pesisir Jakarta. Berdasarkan data WALHI Jakarta banjir rob yang terjadi sejak tahun 2010 hingga 2020 mengalami peningkatan jumlah kelurahan terdampak rob. Berbagai proyek untuk mencegah rob nyatanya juga tidak mampu membendung pasang air laut, seperti pembangunan tanggul di dataran dan peninggian jalan di tingkat tapak juga telah menjadi “proyek hampa”, karena penyebab utama krisis tidak disentuh.[2] Mengatasi banjir Jakarta, pemerintah sendiri telah merumuskan rencana peningkatan pertahanan banjir Jakarta. Upaya ini menghasilkan rencana strategis yang dikenal dengan National Capital Integrated Coastal Development programme (NCICD)/Pengembangan Terpadu Pesisir Ibukota Negara (PTPIN) yang mengusulkan mega proyek infrastruktur bernilai mencapai 40 miliar dollar AS, mencakup pembangunan tanggul laut luar serta pengembangan pemukiman mewah di pulau buatan sekitar tanggul laut.[3] Pada tahun 2016 Presiden Jokowi juga memerintahkan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bapenas) untuk mengintegrasikan perencanaan reklamasi 17 Pulau dengan NCICD. Ini seperti proyek “aji mumpung”, reklamasi dan pengembangan infrastruktur kemudian “dibingkai” sebagai sebuah konsep pengamanan Jakarta dari banjir. Padahal sejarah reklamasi adalah untuk kepentingan “investasi”, dimana pemerintah menjadikan wilayah pesisir utara Jakarta sebagai kawasan andalan, yakni kawasan yang memiliki nilai strategis dari sudut pandang ekonomi. Gubernur Jakarta sendiri pada tahun 2019 pernah meminta proyek tanggul laut tersebut di kaji ulang, dengan alasan tanggul laut tersebut akan menimbulkan masalah sendiri karena tidak ada jalan keluar 13 sungai yang bermuara di teluk Jakarta.[4] Jika kita melihat gambar (peta) laju penurunan tanah, banjir dan rob di atas maka dapat dilihat bahwa penurunan tanah berkontribusi besar terhadap kerentanan wilayah pesisir (utara) Jakarta tenggelam. Mega Proyek NCICD bukan lah solusi tepat dalam upaya “melawan” banjir Jakarta, dan justru akan memperparah banjir Pada bulan September 2018 Gubernur Anies Baswedan mencabut izin 13 pulau reklamasi. Beberapa pulau lainnya seperti Pulau C, D, dan N tidak dicabut dengan alasan keterlanjuran. Beberapa pengembang menggugat keputusan gubernur tersebut. Di tengah proses gugatan Presiden Jokowi mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 60 Tahun 2020 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang Bekasi, Puncak dan Cianjur (Jabodetabek-Punjur). Dimana Perpres tersebut mengakomodir keberadaan pulau C, D, G, dan N. Peraturan tersebut kemudian menjadi alat “legalisasi” reklamasi bagi pemerintah, yang artinya memang selama ini proses pembangunannya illegal. Terkhusus reklamasi pulau G, pulau tersebut masuk dalam Perpres di tengah proses gugatan. Kemudian menjadi satu-satunya pengembang yang menang dalam proses gugatan. Sikap politik pemerintah yang arogan atau superior dalam membuat kebijakan tentunya akan menjadi preseden buruk bagi tata kelola pemerintahan. Dengan alasan keterlanjuran sebuah kesalahan dianulir oleh pemerintah itu sendiri dengan melegalisasinya kemudian (perubahan aturan). Bukan tidak mungkin ke depan banyak praktik-praktik perbuatan melawan hukum kemudian dilegalisasi oleh pemerintah. Tenggelamanya Jakarta diprediksi akan terjadi lebih cepat, Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat (NASA) menyebutkan Jakarta dan Pulau Reklamasi merupakan kota pesisir yang terancam tenggelam akibat perubahan iklim. NASA juga memperingatkan bahwa pulau reklamasi akan mempercepat tenggelamnya Jakarta. Hal ini terjadi karena penurunan tanah (ambles) yang terjadi 8 cm pertahun di wilayah pusat dan 24 cm pertahun di wilayah tepi pantai utara, bahkan data tim peneliti geodesi Institut Teknologi Bandung (ITB), di Jakarta Utara setiap tahunnya telah terjadi penurunan permukaan tanah dengan kedalaman mencapai 25cm.[5] Kondisi ini merupakan perpaduan ancaman dan kerentanan yang mempercepat bencana ekologis tersebut terjadi. Proyek NCICD yang juga terintegrasi dengan reklamasi juga akan merusak wilayah tangkap perikanan dan budidaya, termasuk juga membatasi akses nelayan terhadap ruang laut. Ini sudah terbukti oleh keberadaan pulau reklamasi yang sudah eksisting. WALHI Jakarta secara tegas menuntut agar reklamasi segera dihapus dari kebijakan penataan ruang, baik ditingkat pusat maupun daerah. Pantai Utara Jakarta tidak akan memiliki kepastian lingkungan hidup selama reklamasi masih ada di dalam kebijakan perencanaan ruang wilayah. Berhenti Mengundang Bencana, Deklarasikan Darurat Iklim Segera! Pulihkan Jakarta-Pulihkan Indonesia Deklarasi darurat iklim harus dikumandangkan dengan segera, untuk kemudian pemerintah melakukan sejumlah upaya untuk penurunan emisi dan melakukan pemulihan lingkungan hidup. Mengapa ini sangat penting sebagai sebuah keputusan? Mendeklarasikan darurat iklim oleh pemerintah untuk kemudian menjadi landasan dalam setiap penyusunan dan kebijakan. Perencanaan pembangunan dan berbagai regulasi harus mengedepankan prinsip keadilan bagi masa depan. Antara lain segera tinggalkan penggunaan energi kotor dan beralih menuju energi bersih yang berkeadilan, dengan
Bantargebang Overload, Argumentasi Klise Memuluskan Proyek Bakar-Bakar Sampah
Siaran Pers Bantargebang Overload, Argumentasi Klise Memuluskan Proyek Bakar-Bakar Sampah Jakarta, 10 Agustus 2021 – Bukan barang baru, bantargebang selalu jadi kambing hitam Pemprov DKI Jakarta untuk memuluskan rencananya membangun fasilitas (proyek) bakar-bakaran sampah. Pernyataan tentang kapasitas Bantargebang yang sudah atau hampir overload sering keluar dari pernyataan pemerintah beberapa tahun belakangan untuk merespon dinamika rencana pembangunan pembangkit listrik berbasis sampah (PLTSa) dan insinerator. Masih kita ingat dalam catatan kita pada tahun 2019 lalu Pemprov DKI mengeluarkan penyataan bahwa TPST Bantargebang Overload. Statement ini seolah merespon situasi Perpres No.18 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Pembangkit Listrik Berbasis Sampah yang dibatalkan MA kemudian lahir Perpres No. 97 Tahun 2017 Kebijakan dan Strategi Nasional (Jaktranas) Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga, didalam Perpres ini terselip (lampiran II Perpres) Program PLTSa (pembangkit listrik berbasis sampah). Hingga kemudian muncul Perpres No. 35 Tahun 2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah Menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan (PLTSa). Di tengah situasi tata Kelola persampahan Jakarta yang juga tidak kunjung ada kemajuan signifikan, kebijakan pusat seolah menjadi preseden bagi pemerintah provinsi DKI Jakarta “bahwa sampah kelak ujung-ujungya dibakar” dengan teknologi PLTSa dan atau insinerator (termal). Kebijakan pusat dan ketidakseriusan pemerintah DKI seperti permainan saling menangkap bola. Sama-sama tidak mampu mengelola sampah. Kapasitas Bantargebang sudah tidak lagi memadai adalah sebuah fakta, namun apa penyebabnya? Penyebab utamanya adalah pemerintah yang seharusnya melakukan upaya untuk menumbuhkembangkan dan meningkatkan kesadaran masyarakat dan pelaku usaha dalam pengelolaan sampah tidak dijalankan dengan maksimal. Inilah yang menjadi kunci dasar pengelolaan sampah, atau biasa kita sebut membatasi sampah ditingkatan sumber. Pemerintah pusat tidak ambisius mengejar pelaku usaha untuk bertanggung jawab atas segala sampah dari produk dan turunannya. Kumpul angkut buang terus dilakukan hingga saat inilah yang membuat Bantargebang mengalami overload. Bahkan ini terus dilakukan bersamaan ketika Pemprov mengumumkan Bantargebang overload. Rencana Bangun Insinerator di Tebet: Teknologi yang dipaksakan Perlu diingat dalam Peraturan Daerah (Perda) No.03 Tahun 2013 tugas pemprov adalah memanfaatkan dan memfasilitasi penerapan teknologi pengolahan sampah yang berkembang pada masyarakat untuk mengurangi dan/atau menangani sampah. Insinerator bukanlah teknologi yang berkembang pada masyarakat. Artinya dengan membangun insinerator pada skala kecamatan di Tebet keluar dari tugas Pemerintah Provinsi DKI. Bahkan data dinas Lingkungan Hidup Jakarta pada tahun 2019 yang menyatakan bahwa TPS 3R masih jauh dari ideal dan berencana memperbanyaknya tidak disadari oleh instansinya sendiri. Sementara itu insinerator yang akan dibangun di Tebet yang mengambil Pilot atau contoh dengan yang ada di Soreang Bandung juga sebuah kejanggalan, pasalnya saat uji coba cerobong mengeluarkan asap hitam. Bahkan saat ini beroperasinya pun tidak efektif, atau seringkali tidak beroperasi. Berdasarkan pemantauan WALHI Jawa Barat fasilitas di Soreang tersebut terdapat keluhan warga yang rumahnya tepat sekali berada di belakang fasilitas insinerator. Berupa gangguan yang dimana polusi terbawa angin dan sering masuk hingga ke pemukiman. Tidak hanya di pemukiman, warga Lain sering juga mengeluhkan berupa rasa bau yang mengganggu penciuman warga sekitar fasilitas. Salah satu fungsi Ruang Terbuka Hijau (RTH) adalah edukasi, sementara penggunaan teknologi bakar-bakaran sampah di dalam RTH (Taman Tebet) bukanlah edukasi yang baik, apalagi untuk dipertontontkan kepada publik dalam model pengelolaan sampah. Bahwa pengelolaan sampah ditingkatan sumber, berbasis 3R, berbasis pada teknologi yang berkembang pada masyarakat hanyalah sebatas teks dalam kebijakan. Kemudian pembangunan insinerator dan PLTSa menjadi seolah penting. Karena niat awalnya adalah dengan cara cepat yakni dibakar. Sementara penerima dampak terburuknya adalah generasi mendatang, tentu jauh dari pikiran pemerintah saat ini.
Siaran Pers WALHI Jakarta Menyikapi Rencana Pengelolaan Sampah Dengan Teknologi Insinerator di Taman Tebet
Batalkan Segera Proyek Bakar-Bakaran Sampah di Taman Tebet!!! Jum’at 6 Agustus 2021. Pada hari Kamis 5 Agustus kemarin Pemerintah Provinsi Jakarta, dalam hal ini Kelurahan Tebet Barat mengadakan Konsultasi Publik perihal rencana pembangunan Fasilitas Pengelolaan Sampah Antara (FPSA). Konsultasi publik ini berdasarkan informasi merupakan tindak lanjut dari permohonan PT. Envitek Indonesia Jaya terkait jadwal konsultasi publik rencana FPSA tersebut oleh PUD Sarana Jaya sebagai pemrakarsa. Pada konsultasi yang dihadiri Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta tersebut, diketahui bahwa FPSA yang akan dibangun di Taman Tebet ini menggunakan teknologi insinerator (bakar-bakaran sampah) hydrodrive dengan kapasitas 120 ton/hari di atas lahan seluas 13.000 m2. WALHI Jakarta secara tegas menolak rencana ini dengan beberapa alasan, pertama proyek pengelolaan sampah dengan cara bakar-bakaran sampah (insinerator) tersebut tidak ada dalam kebijakan dan strategi daerah dalam pengelolaan sampah rumah tangga dan sejenis rumah tangga. Kedua, proyek yang berpotensi menambah beban pencemaran udara berada di area publik (taman) dan berdekatan langsung dengan pemukiman, kemudian juga di tengah situasi beban pencemaran udara Jakarta yang tinggi. Bisa dibayangkan area yang biasa di jadikan area publik seperti rekreasi, berolahraga, dan lain sebagainya akan terpapar dampak buruk insinerator. Dengan demikian FPSA dengan teknologi insinerator ini juga bertentangan dengan Peraturan Daerah (Perda) No 04 tahun 2019, karena tidak memperhatikan aspek sosial dan tidak tepat guna dalam pengelolaan sampah. Teknologi termal seperti insinerator bukan merupakan energi baru, melainkan teknologi lama yang sudah banyak ditinggalkan. Kami melihat ini adalah cara berpikir pendek Dinas Lingkungan Hidup, Pemkot Jakarta Selatan dan PUD Sarana Jaya dalam pengelolaan sampah. Pasalnya Gubernur DKI pernah meminta tanggapan publik di media sosial pada tahun 2020 tentang rencana revitalisasi Taman Tebet tersebut. Tidak mungkin rencana FPSA dengan insinerator ini muncul dari publik karena tidak ada masyarakat yang menginginkan proyek yang mengancam wilayahnya sendiri. Upaya yang seharunya diperkuat oleh pemerintah adalah pengelolaan sampah berbasis (TPS) 3R berbasis masyarakat. Karena jumlah TPS 3R Jakarta masih jauh dari angka ideal. Kemudian juga memberikan dukungan dan memperluas praktik-praktik baik pengelolaan sampah yang sudah berjalan di komunitas masyarakat. Dengan ini WALHI Jakarta meminta kepada Gubernur DKI Jakarta untuk segera membatalkan rencana proyek bakar-bakaran sampah di Taman Tebet, karena berpotensi membahayakan ruang interaksi masyarakat. Selaian itu revitalisasi Taman Tebet dengan memasuki pengelolaan sampah menggunakan teknologi insinerator ini jauh dari konsep dan komitmen Gubernur untuk menjadikan taman tersebut dengan konsep Eco Garden (menggabungkan taman dengan sarana interaksi, edukasi, dan rekreasi, masyarakat) Narahubung: Tubagus Soleh Ahmadi, Direktur Eksekutif WALHI Jakarta