Kasus pencemaran minyak mentah di perairan, kembali terjadi. Lagi-lagi PT. Pertamina menjadi sorotan karena pencemarnya bersumber dari sumur minyak miliknya. BUMN ini kembali mengulang kejadian tahun lalu yang mencemari Teluk Balikpapan. Belum tuntas kasus perairan Balikpapan, kini muncul lagi pencemaran di Pantai Karawang. Pencemaran minyak akibat kelalaian pengeboran produksi minyak sumur YYA 1 menyebabkan 45,37 km2 lautan terdampak, data hingga tanggal 18 Juli 2019. Data luasan tercemar kami peroleh dari citra satelit ESA sentinel 1 yang bisa diakses oleh publik. Luasan ini akan terus bertambah karena sumber pencemarannya masih belum teratasi, masih waktu berminggu-minggu lagi untuk menutup sumur tersebut. Angin mendorong pencemaran minyak ke arah barat, laporan terakhir masyarakat sudah sampai ke Pulau Untung Jawa di Kepulauan Seribu DKI Jakarta. Tumpahan minyak ini sudah menyebabkan tambak-tambak di Karawang dan Bekasi mengalami kegagalan panen dan kehidupan nelayan di pesisir Jawa Barat dan DKI Jakarta terganggu. Lokasi pariwisata pantai di karawang sampai ditutup karena lokasi pantainya tercemar oleh tumpahan minyak. Pertamina harus melakukan audit terhadap prosedur kerja dan peralatan di lokasi lain blok ONWJ, anjungan Echo, Bravo, Mike dan Zulu. Prosedur kedaruratan untuk memberitahukan kepada warga dan nelayan yang melakukan aktifitas yang terdampak oleh tumpahan minyak ini belum mendapat informasi yang cukup akan dampak dari tumpahan minyak ini. Sampai kapan tumpahan minyak ini akan berakibat terhadap kehidupan dan bagaimana menangai akibat-akibat dari pencemaran ini sesuai dengan standar kesehatan dan keselamatan. Meiki Paendong direktur eksekutif WALHI Jawa Barat menyatakan “Tumpahan minyak di perairan laut dan pantai Karawang telah mengancam sumber-sumber kehidupan dan keberlanjutan layanan alam. Pertamina harus tuntas dalam melakukan upaya pemulihan ekosistem laut, pantai, dan mangrove yang terkena dampak tumpahan minyak” Tubagus Soleh Ahmadi direktur eksekutif WALHI DKI Jakarta menambahkan “ Pencemaran ini bila tidak dikendalikan akan mencapai kepulauan seribu, kehidupan nelayan dan pariwisata di kepulauan seribu yang selama ini bergantung dengan kondisi laut akan sangat terganggu” Tubagus menambahkan” sudah ada beberapa laporan nelayan tumpahan minyak sudah mencapai bagian timur kepulauan seribu” Dwi Sawung pengkampanye Energi dan Perkotaan WALHI esekutif nasional menambahkan “Pencemaran ini seharusnya bisa dikendalikan dan masyarakat terdampak mendapat kan pengetahuan dan informasi dari dampak-dampak yang akan terjadi dan selama apa. Kami melihat masyarakat yang membantu menangani tumpahan minyak tidak mendapat pengetahuan tentang bahaya dan standar operasi penanganan tumpahan minyak yang sama dengan pegawai pertamina. Pemerintah harus mengaudit Pertamina karena kecelakaan yang terjadi dalam waktu tidak lama setelah peristiwa Balikpapan tetapi peringatan kepada masyarakat terdampak tidak dilakukan dengan segera”
Meriahnya Pawai Bebas Plastik
Jakarta Harus Keluar dari Darurat Plastik Sekali Pakai
Jakarta, 21 Juli 2019 Kondisi sampah di Indonesia saat ini sangat mencekam. Dari 60 juta ton sampah yang dihasilkan, 15 persennya merupakan sampah plastik yang tidak hanya membanjiri tempat pembuangan akhir, namun juga lautan Indonesia. Berdasarkan data Bank Dunia tahun 2018, 87 kota pesisir di Indonesia memberikan kontribusi 2 juta ton sampah plastik ke laut. Banyaknya dan besarnya ancaman dari sampah plastik digambarkan melalui sosok monster, sebuah kekuatan besar yang siap menghancurkan bumi. Sosok monster plastik berupa mahluk laut dengan tinggi 4 meter muncul dari laut Jakarta dan bergerak menuju jantung ibu kota Jakarta di bundaran Hotel Indonesia. Aksi ini dilakukan dalam kampanye Pawai Bebas Plastik; Aksi terbesar menolak plastik sekali pakai yang merupakan gerakan bersama 48 organisasi dan komunitas sipil pada 21 Juli 2019. Direktur WALHI DKI Jakarta, Tubagus Soleh Ahmadi mendesak Pemerintah DKI Jakarta segera mengeluarkan Jakarta dari darurat sampah. “Keadaan Jakarta darurat sampah disebakan tidak berjalannya aturan dan kebijakan Sampah secara nasional maupun di daerah. Lebih dari 10 tahun lalu, yakni sejak keluarnya Undang-Undang Nomor 18 tahun 2008 mengakui bahwa pengelolaan sampah belum sesuai dengan metode dan teknik pengelolaan sampah yang berwawasan lingkungan sehingga menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan masyarakat dan lingkungan, dan kini kita masih mengalami hal yang sama. Lebih lanjut, meskipun secara nasional kita telah memiliki Peraturan Pemerintah Nomor 81 tahun 2012 yang didalamnya memerintahkan produsen wajib menggunakan bahan baku produksi yang dapat diguna ulang dan menarik kembali sampah dari produk dan kemasan produk untuk diguna ulang, juga belum berjalan karena Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan belum mengeluarkan kebijakan teknis sesuai dengan perintah PP tersebut. Ungkap Tubagus. Lebih lanjut, Keadaan yang sama juga terjadi di Jakarta, dimana Pemerintah Daerah (Pemda) tidak maksimal menjalankan Perda Nomor 3 tahun 2013 tentang Pengelolaan Sampah. Parahnya ketidakmampuan Pemda menjalankan kebijakan yang mereka buat justru mengalihkan tanggung jawabnya pengelolaan sampah dengan teknologi bakar-bakaran. Jika kita melihat rujukan kebijakan di atas, ini merupakan bentuk pengalihan tanggung jawab produsen terhadap produknya dan kemudian membebankan kepada masyarakat atas resiko yang ditimbulkan. Pemerintah DKI Jakarta harusnya membuat kebijakan pencegahan, salah satunya yakni melarang produsen menghasilkan produk-produk yang berdampak buruk bagi lingkungan dan merusak lingkungan hidup, salah satunya kantong atau kemasan plastik”.
RZWP3K Banten Terkesan Dipaksakan
Serang 17 Juli 2019. WALHI DKI Jakarta turut menghadiri Rapat Dengar Pendapat dengan Pansus Raperda RZWP3K Banten. Dalam acara Rapat Dengar Pendapat (RDP) dan OPD tentang pembahasan Ranperda Rencana Zonasi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K). Tubagus Soleh Ahmadi, Direktur Eksekutif WALHI DKI Jakarta, yang hadir dalam RDP tersebut mengungkapkan “ada beberapa catatan terkait Ranperda tersebut. Pertama Ranperda ini disusun dengan tanpa melibatkan banyak masyarakat, terutama masyarakat pesisir dan nelayan. Kedua Kajian Lingkungan Hidup Strategis atau (KLHS) untuk kebijakan ini belum rampung, tetapi mereka sudah mengatur rencana penzonasian. Padahal ini sangat penting untuk melihat kondisi wilayah laut di Banten secara menyeluruh. Salah satunya daya dukung dan daya tampung. Kami juga melihat proses penyusunan KLHS tidak terbuka kepada publik. Ketiga, kami belum melihat Ranperda ini disertai dengan analisis resiko bencana, Memang dalam ranperda bencana disinggung, tetapi bagaimana pengalokasian ruang berdasarkan resiko bencana belum melihat analisanya. Bukan hanya peta bencana. Tetapi bagaimana analisa resikonya.
RZWP3K Mengancam Kedaulatan Rakyat Atas Wilayah Laut
Jakarta 16 Juli 2019. Amuk Bahari yang terdiri dari organisasi masyarakat sipil, komunitas nelayan, pemuda dan mahasiswa melakukan aksi ke Kementerian Kelautan dan Perikanan, dan Kantor Gubernur DKI Jakarta. Tubagus Soleh Ahmadi, Direktur Eksekutif WALHI DKI Jakarta mengungkapkan “kita sekarang memasuki rezim pengkaplingan wilayah laut, ancaman terbesarnya adalah kebijakan tersebut semakin melegalkan praktik korporasi rakus ruang yang terus mengancam ekosistem laut, yang merupakan sumber-sumber kehidupan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil. salah satunya melalui praktik privatisasi pulau dengan topeng industri pariwisata”.