Sabtu 26 Juni 2021 lalu, sejumlah komunitas masyarakat pengelola hutan atau kelompok tani hutan (KTH) melakukan rembug bersama di daerah Desa Bojong Juruh, Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Kegiatan ini merupakan inisiatif bersama antara Sarekat Hijau Indonesia, WALHI Jakarta, Asosasi Pengelolan Perhutanan Sosial Indonesia (AP2SI), dan beberapa komunitas masyarakat pengelola hutan. Beberapa perwakilan kelompok pengelola hutan yang turut hadir antara lain KTH Maju Berkah (Desa Cipalabuh), KTH Surya Makmur (Desa Cipeundeuy), LMDH Wana Tani Genap (Desa Gunung kendang), KTH Desa Sukajadi, LMDH Desa Cimanyangray, dan beberapa lainnya. Mukri Friatna, mewakili Sarekat Hijau Indonesia yang sekaligus juga menjadi fasilitator dalam pertemuan ini menjelaskan “bahwa pertemuan ini bertujuan agar terbentuknya sebuah wadah sebagai sarana komunikasi dan kerjasama antara pelaku perhutani sosial di Banten maupun dengan pengelola perhutanan sosial di Indonesia.” Hal tersebut memantik peserta untuk menyampaikan segala permasalahannya terkait fasilitas kebutuhan maupun hambatan yang dihadapi kelompok pengelola perhutanan sosial dalam mengelola hutan selama ini. Sebagaimana kita ketahui, Provinsi Banten memiliki kawasan hutan sebesar ± 240.331,87 Ha, adapun luas kawasan hutan berupa daratan di Provinsi Banten seluas ± 195,274,89 Ha. Seluas 78.487,65 Ha atau 8,12% dari luas provinsi dikuasai oleh Perhutani berupa hutan produksi dan lindung. Sementara hutan lindung yang dikuasi seluas ± 7.879 Ha.[1]Kemudian seluas 126.302 Ha merupakan kawasan konservasi yang dikuasi oleh Balai Taman Nasional Ujung Kulon (BTNUK) seluas 122.956 Ha (daratan dan perairan laut), Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak (BTNGHS) seluas 42.925,15 Ha, dan sisanya (konservasi) adalah Cagar Alam dan Taman Wisata Alam. Sementara pinjam pakai kawasan hutan untuk tambang dan lainnya seluas 2.642,6 Ha. Sekjen AP2SI, Achmad Rozani mengungkapkan “kami sangat terpanggil dengan bagaimana kondisi di Banten, terutama komunitas-komunitas yang wilayahnya dimasuki kawasan hutan. Sangat tidak adil wilayah masyarakat yang dijadikan kawasan hutan, akan tetapi masyarakatnya belum mendapatkan manfaat ekonomi secara utuh. Karena salah satu tujuan dan manfaat perhutanan sosial adalah dari aspek ekonomi, yakni masyarakat memiliki hak untuk memanfaatkan hutan untuk pemenuhan kehidupan melalui cara-cara yang lestari. Cara tersebut adalah apa yang selama ini telah dipraktikkan oleh masyarakat, dan ini terbukti tetap menjaga keseimbangan alam. Dalam rembug tersebut, forum menyepakati sangat penting dan menjadi sebuah kebutuhan untuk membentuk wadah bagi pelaku perhutanan sosial sebagai wadah komunikasi, ruang belajar bersama, dan kerja sama. Kemudian pertemuan tersebut menyepakati membentuk Asosiasi Pengelola Perhutanan Sosial Indonesia (AP2SI) untuk wilayah Provinsi Banten. Sandy Saputra Pulungan (WALHI Jakarta) “WALHI Jakarta akan terus mendorong akses masyarakat terhadap lingkungan hidup, termasuk juga akses terhadap kawasan hutan. Karena sejatinya penerima manfaat secara langsung adalah komunitas yang berada di dalam maupun yang berdampingan dengan kawasan hutan. Termasuk jika juga kawasan hutan rusak, maka yang akan terdampak langsung juga mereka. Berdasarkan data WALHI Jakarta yang dihimpun dari berbagai sumber, menunjukkan bahwa di Kabupaten Lebak terjadi peningkatan jumlah kejadian bencana (banjir dan longsor) selama 10 terakhir (2011-2020) dibandingkan periode 2000-2010. Ironisnya ada yang terjadi di sekitar kawasan hutan. [1] https://www.perhutani.co.id/tentang-kami/struktur-organisasi-perum-perhutani/divisi-regional/janten/
Jurnal WALHI Edisi Juni 2021 Telah Terbit!
Core issue (isu utama) dalam jurnal ini adalah “kapitalisme”, satu sistem sosial-ekonomi yang paling dominan saat ini. Sistem yang mengeksploitasi manusia dan alam. Konten dalam jurnal ini dibuka dengan artikel yang menyoal kemunculan virus Covid-19. Artikel yang ditulis dengan menempatkan kapitalisme sebagai sebab utama. Kritik terhadap pembangunanisme juga menjadi latar dari jurnal ini. Dengan mengambil contoh kasus reklamasi di teluk Bali dan Jakarta, artikel ini sangat relevan untuk melihat proyek-proyek pembangunan yang sedang berlangsung di Indonesia. Dibagian kedua, jurnal ini menempatkan satu usaha diskursif jalan keluar ekonomi kapitalisme lewat hasil riset ekonomi nusantara WALHI. Dan yang tidak kalah penting adalah artikel yang membahas konteks ekonomi-politik ekologi di China. Akhir-akhir ini China menjadi sorotan dunia karena pertumbuhan ekonomi yang naik tajam satu dekade terkahir. China di lihat dalam kerangka Marxis sehingga menghasilkan pembacaan yang berbeda dari biasanya yaitu kaca mata “identitas.” Paling akhir redaksi menyajikan review buku Ecocide: Melawan Pelanggaran HAM berat di Indonesia yang diharapkan menjadi diskursus baik di kalangan aktivis sosial maupun akademisi. Jurnal tanah air edisi Juni 2021 dapat kamu akses di sini
Konfrensi Tingkat Tinggi G7, Solusi Palsu Negara-negara Maju
Pernyataan Sikap Tangani Krisis dengan Tangung Jawab, Pandemi Bukan Ajang Mengobral Utang Jakarta, 11 Juni 2021 – WALHI DKI Jakarta dan KRuHA pada hari ini 11 Juni 2021, melakukan aksi protes simbolik bertepatan dengan pembukaan pertemuan puncak para pemimpin negara-negara G7 dengan Kerajaan Inggris sebagai tuan rumah. Aksi serempak juga dilakukan di Kedutaan Besar Kerajaan Inggris di Filipina, India, dan Pakistan. Tuntutan utama protes ini adalah “Batalkan Utang Baru & Hapus Utang Lama”, hal ini berkaitan dengan penderitaan berkepanjangan yang sedang dialami mayoritas penduduk bumi akibat berbagai krisis yang diperjelas oleh Pandemi Covid-19. Seruan kepada negara-negara G7 untuk “Batalkan Utang!” disertai dengan seruan, “Tolak Solusi-Solusi Palsu!” karena proposal penanganan utang yang diajukan terlalu sempit dan terbatas, serta hanya menunda beban utang yang akan menghancurkan negara-negara berkembang ditahun-tahun mendatang. Keputusan G7 tentu juga akan berdampak pada negara-negara dibelahan selatan bumi yang seringkali dipandang sebelah mata. Sejauh ini proposal penanganan krisis G7 tidak mencakup negara-negara seperti Indonesia, yang harus membayar bunga utang dari dana publik sementara sistem kesehatan publik hampir mencapai titik kolaps. Inilah sebabnya kami juga mengulangi permintaan kami – “Layanan publik lebih utama daripada pembayaran utang!” Selain itu, kami juga menolak utang baru untuk penanggulangan COVID-19. Pembatalan utang dapat mengurangi beban anggaran publik untuk digunakan sebagai dana untuk kelangsungan hidup masyarakat. Seperti diketahui utang Indonesia dari tahun ke tahun terus merangkak naik. Kementerian Keuangan mencatat posisi utang Indonesia hingga akhir Desember 2020 mencapai lebih dari Rp 6.074 triliun. Dalam satu tahun kemarin, utang Indonesia bertambah lebih dari seribu triliun rupiah, dari akhir Desember 2019 yang tercatat Rp 4.778 triliun. Utang Indonesia di tahun 2020 terdiri dari surat berharga negara yang mencapai Rp 5.221,65 triliun, serta pinjaman sebesar Rp 852,91 triliun. Utang dalam bentuk pinjaman terdiri dari pinjaman dalam negeri sebesar Rp 11,97 triliun serta pinjaman luar negeri senilai Rp 840,94 triliun. Sementara pada tahun 2021, pemerintah juga menargetkan penambahan utang baru sebesar Rp 1.654,92 triliun. Sepanjang kuartal I-2021, posisi utang pemerintah telah menembus sekitar Rp 6.445,07 triliun. Narasi menyesatkan yang dibangun oleh pemerintah yang bersumber dari intelektual liberal seharusnya tidak lagi dipakai dalam menangani masalah utang tersebut. Kenaikan rasio utang yang diklaim sesuai dengan target yakni di antara 41%-43% sudah seharusnya dikritik. Istilah ‘target’ memberikan kesan bahwa angka ini adalah parameter yang harus direalisasikan, pastinya akan dianggap ‘gagal’ ketika pemerintah tidak mampu mencapainya. Istilah ‘target’ sudah seharusnya dipakai pada sasaran seperti penciptaan lapangan kerja, dan pemerataan distribusi pendapatan, perluasan layanan publik dan lain sebagainya. Narasi lain seperti penjelasan rasio utang 40-an persen yang diwacanakan masih ‘aman’ lantaran jauh di bawah batas 60% dari PDB, sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang (UU) Nomor 17/2003 tentang Keuangan Negara patut dilihat sebagai upaya menutupi ketidakmampuan pemerintah menyelesaikan utang tersebut. Istilah ‘aman’ dengan mengacu pada rambu-rambu rasio utang 60% menyodorkan penafsiran bahwa penambahan utang masih sah ditempuh pemerintah. Oleh karena itu, ada atau tidak ada pandemi Covid-19 sekalipun, kenaikan utang untuk membiayai defisit anggaran seolah menjadi hal yang lumrah. Sementara rasio utang sebesar 60% itu sendiri hingga kini masih menjadi perdebatan. Secara teknis, angka tersebut berasal dari hasil simulasi IMF berdasarkan nilai median data lintas negara yang menghubungkan antara PDB dengan utang. Artinya, tidak ada landasan ilmiah yang kokoh untuk mengklaim bahwa porsi 60% sebagai rasio yang aman. Rasio utang terhadap PDB sebesar 60%, bahkan bisa lebih tinggi lagi, hanya cocok untuk negara maju. Sebaliknya, rasio 40% adalah rekomendasi untuk negara berkembang yang dalam jangka panjang tidak boleh dilanggar. Lebih lanjut, mengaitkan kenaikan utang dengan merosotnya penerimaan negara bisa memberikan implikasi yang melenceng. Dalam konteks ini, utang bisa dipahami sebagai substitusi temporer bagi penerimaan. Namun jika terus dilanjutkan, utang akan mengendap di alam bawah sadar dan dianggap sebagai penerimaan. Sebagai penutup, kami juga menuntut “Pembatalan semua hutang najis!” pinjaman yang dilakukan pemerintah yang korup dengan mengatasnamakan rakyat namun malah merugikan dan membebani rakyat. Utang – utang yang digunakan untuk proyek dan kebijakan justru hanya menghancurkan lingkungan hidup, mengikis mata pencaharian dan menggusur masyarakat dari tanah kelahirannya. Negara – negara industri maju yang tergabung dalam G7 harus bertanggung jawab atas berbagai krisis dan ketimpangan yang sedang terjadi. Tuntutan: Batalkan Utang Baru, Hapus Utang Lama! Tangani krisis dengan semangat solidaritas. Narahubung: Muhammad Reza, KRuHA: +62 81370601441 Sandi Saputra Pulungan, WALHI DKI Jakarta: +62 81380399658 Mae, APMDD: : 09175608096,mae.buenaventura@gmail.com
Hari Laut Sedunia; Sampah Ancaman Buruk Bagi Nelayan!
Gagasan Hari Laut Sedunia pertama kali diusulkan di KTT Bumi di Rio de Janeiro, Brazil pada tahun 1992. Pada saat itu, delegasi asal Kanada mengusulkan gagasan adanya hari khusus peringatan soal kelautan. Akan tetapi, usulan mereka tak langsung diresmikan. Pada 2002, Komisi Oseanografi Antar Pemerintah (IOC) UNESCO mensponsori Jaringan Kelautan Dunia yang berperan penting dalam membangun dukungan terkait Hari Laut Sedunia. Baru kemudian pada 5 Desember 2008, PBB secara resmi menetapkan 8 Juni sebagai Hari Laut Sedunia (World Ocean Day) melalui resolusi 63/111. Lautan menghasilkan setidaknya 50% oksigen Bumi, yang merupakan rumah bagi sebagian besar keanekaragaman hayati Bumi. Pencemaran yang terjadi di laut kita secara langsung mengancam sumber-sumber kehidupan manusia dan seluruh makhluk hidup. Di hari laut 2021 ini, WALHI Jakarta memotret bagaimana sampah mencemari laut Jakarta yang berdampak pada tangkapan nelayan Jakarta. Yuk tonton video pendeknya di:
Aksi Hari Lingkungan Hidup 2021
Pernyataan Sikap Milenial dan Masa Depan Lingkungan Hidup Jakarta, 6 Juni 2021 –Krisis Ekologis menjadi ancaman bagi keberlangsungan kehidupan makhluk hidup maupun masa depan anak muda dan generasi selanjutnya. Kerusakan lingkungan hidup yang saat ini terjaditidak lepas dari kebijakan yang abai terhadap semangat perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang tidak mengedepankan nilai- nilai lingkungan hidup dan anti konservasi. Salah satu kebijakan kontroversial dan mendapat penolakan dari masyarakat seperti Undang-undang Minerba dan Undang-undang Cipta Kerja justru akan memperparah laju kerusakan ekologis. Di sisi lain, permasalahan lingkungan hidup di provinsi DKI Jakarta seperti sampah, ruang terbuka hijau yang kurang dari 10% (BPS DKI Jakarta), menjadi pekerjaan rumah yang harus dijalankan untuk memulihkan keadaan darurat ekologis jakarta. Hal ini juga menjadi momentum yang baik, terkait gugatan polusi udara yang akan diputuskan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 10 juni 2021 nanti, dalam meningkatkan hak atas kualitas udara jakarta yang baik dan besih serta berkelanjutan. Selain hari lingkungan hidup sedunia, hari laut sedunia yang jatuh pada tanggal 8 juni menjadi perhatian kami khususnya terkait pencemaran laut seperti sampah yang menumpuk dipesisir jakarta dan matinya hewan laut yaitu penyu yang ditemukan warga pulau pari beberapa hari lalu, menurut informasi warga diduga matinya penyu tersebut akibat limbah tumpahan minyak. Oleh sebab itu, peran milenial harus terlibat aktif dalam menyikapi isupermasalahan lingkungan hidup global, nasional maupun daerah. serta membuatkesadaran akan tanggung jawab bersama dalam melestarikan agar hak ataskeadilan lingkungan hidup yang baik layak didapatkan, sebab hal itu menjadi salahsatu faktor untuk meningkatkan kualitas penghidupan antar generasi yang akan datang. Tindakan yang dilakukan pemerintah pusat dan daerah seharusnya lebih progresif dalam menyikapi isu permasalahan lingkungan hidup. Dengan situasi negara saat ini dan bencana ekologis yang terus meningkat, kami kaum milenial yang peduli akan lingkungan hidup menuntut pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk segera mengambil tindakan nyata guna membenahi kerusakan lingkungan yang sudah parah. Berikut beberapa hal yang kami tuntut: Mencabut kebijakan UU Cipta Kerja yang memperparah kerusakan lingkungan hidup Memenuhi kualitas lingungan hidup yang baik dan sehat serta berkelanjutan bagi generasi saat ini dan generasi masa depan. Stop energi kotor dan beralih ke energi baru terbarukan Pulihkan kualitas udara Jakarta Pulihkan kualitas lingkungan laut dan pesisir Jakarta (WALHI Jakarta, BEM FMIOA UI, KPA Arkadia UIN Jakarta, Stacia UNJ, Marpala UBK, Astadca, Ranita UIN Jakarta, HMI Pustara, Sahabat Walhi Jakarta)