Provinsi Banten telah mengesahkan Peraturan Daerah Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (Perda RZWP-3-K) pada tangal 7 Januari 2021. Penyusunan dan pengesahan Perda tersebut dilakukan tanpa melibatkan partisipasi dan transpansi kepada masyarakat, khususnya masyarakat yang tinggal di pesisir dan pulau-pulau kecil Provinsi Banten. Ini adalah potret memalukan dari proses legislasi di Provinsi Banten. Secara formil, pembahasan Ranperda RZWP-3-K Provinsi Banten tidak transparan dan tanpa partisipasi aktif masyarakat dalam menyusun kebijakan yang akan mengatur ruang hidup mereka. Hal tersebut penting karena masyarakatlah yang akan terdampak, khususnya masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil yang ada di Banten. Bahkan tak jarang, pembahasan perda ini dilakukan secara sembunyi-sembunyi, tetapi hal tersebut bocor dan diketahui oleh publik dan memicu amarah serta aksi publik yang memberi perhatian khusus terhadap isu lingkungan, ruang pesisir, pulau-pulau kecil, kelautan dan perikanan. AMUK (Aliansi Masyarakat Untuk Keadilan) Bahari Banten telah melayangkan kritik terhadap proses penyusunan Ranperda hingga menjadi Perda RZWP-3-K Banten. Kritik tersebut dilayangkan karena proses penyusunannya yang belum sesuai dengan ketentuan peraturan penyusunan perundang-undangan dan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Kritik tersebut telah dilakukan dalam berbagai kesempatan sewaktu pihak Pemerintah Provinsi Banten melakukan pembahasan RZWP3-K Banten. Salah satu kritik yang telah disampaikan adalah pada tanggal 27 Juli 2020. Hingga sampai saat ini, Pemerintah Daerah Banten bahkan tidak membuka pada publik dokumen Perda RZWP-3-K yang telah disahkan untuk dapat dilihat dan dikritisi oleh Publik Banten, khususnya masyarakat yang akan terdampak. Mengacu terhadap dokumen lama sewaktu masih dalam proses pembahasan Ranperda RZWP-3-K Banten yang disusun pada tahun 2020, disebutkan sejumlah alokasi peruntukkan ruang di pesisir, laut dan pulau-pulau kecil. Alokasi peruntukkan ruang tersebut terdiri dari proyek pariwisata, pelabuhan, pertambangan, industri, energi, konservasi, pipa bawah laut, dan kawasan strategis nasional. Dilihat dari alokasi peruntukkan ruang, pemukinan nelayan di Provinsi Banten tak memiliki tempat dalam draft ranperda lama yang dikeluarkan tahun 2020. Dengan demikian, pada dasarnya ranperda tersebut tidak berpihak terhadap masyarakat pesisir, khususnya nelayan tradisional. AMUK Bahari Banten mencatat, bahwa jumlah alokasi peruntukkan ruang yang terdapat dalam draft ranperda tersebut dapat dilihat dalam tabel 1. Mengacu pada data di tabel 1, substansi Ranperda RZWP-3-K Provinsi Banten menegaskan bahwa Pemerintah Provinsi Banten tidak memberikan dan tidak mengakui alokasi ruang untuk permukiman nelayan. Padahal, provinsi ini memiliki rumah tangga nelayan tradisional sebanyak 9.235, yang terdiri dari 8.676 keluarga nelayan tangkap dan 559 keluarga nelayan budidaya. Hal ini merupakan bentuk ketidakadilan sekaligus bentuk perampasan ruang yang akan dilegalkan melalui Perda yang telah disahkan. Selain itu, dengan memperhatikan data jumlah alokasi ruang pada tabel 1, arah pembangunan laut di Provinsi Banten dapat dilihat akan berorientasi pada pembangunan infrastruktur melalui KSN (Kawasan Strategis Nasional) sekaligus pembangunan ekstraktif-ekspolitatif melalui proyek pertambangan. Belum lagi alokasi ruang untuk proyek reklamasi yang berada di 54 kawasan pesisir Banten. Proyek-proyek ini dipastikan akan menggusur ruang hidup masyarakat pesisir. Faktanya, praktik-praktik penggusuran ruang hidup masyarakat pesisir oleh proyekproyek industri ekstraktif kian marak terjadi di Provinsi Banten. Mulai dari kriminalisasi tiga masyarakat di Pulau Sangiang. Masyarakat yang telah hidup beberapa generasi di pulau tersebut kini terancam kelangsungan keberadaannya akibat konflik ruang dengan PT Pondok Kalimaya Putih (PT PKP); Sama halnya dengan masyarakat pesisir Dadap yang dilaporkan ke polisi karena menolak reklamasi; Nelayan tradisional di Ujung Kulon harus sembunyi-sembunyi melaut karena pelarangan oleh pihak Taman Nasional Ujung Kulon; Nelayan Cikubang, Bojonegara, yang sampai saat ini tidak memiliki ruang bersandar kapal yang layak karena dihimpit oleh Kawasan industri yang berjajar di sekitar pesisir Desa Agrawana; Belum lagi masyarakat pesisir Bayah yang terganggu karena adanya penambangan pasir laut yang akan merusak biota dan juga mendangkalkan wilayah pesisir laut Bayah. Setidaknya tercatat ada 24 kasus perampasan ruang hidup nelayan dan perusakan lingkungan pesisir yang terjadi selama 2017-2020, baik itu pencemaran limbah industri, penggusuran, kecelakaan laut, kriminalisasi, yang diyakini akan makin banyak terjadi setelah disahkannya Perda RZWP-3-K Banten. Bahkan evaluasi dari berbagai Perda RZWP-3-K yang telah disahkan di 27 provinsi lainnya, masih terdapat berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat pesisir, khususnya nelayan kecil dan tradisional. Oleh karena itu, AMUK Bahari Banten dengan ini menyatakan tegas menolak RZWP-3-K Banten yang baru saja disahkan karena jauh dari semangat perlindungan dan keberlanjutan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil; tidak ada pelibatan masyarakat nelayan yang sejatinya adalah pemangku kepentingan utama dalam menentukan nasib Kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil; alih-alih melindungi kepentingan nelayan, Perda RZWP-3-K ini hanya disusun untuk melayani kepentingan investasi reklamasi, tambang, pariwisata dan industri ekstraktif-eksploitatif lain yang semakin menggerus kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil. Untuk itu RZWP-3K Banten harus segera dibatalkan serta dilakukan evaluasi menyeluruh atas produk kebijakan yang melegitimasi perampasan dan pengrusakan Kawasan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil di Provinsi Banten. Narahubung: Mad Haer Effendi, Pena Masyarakat Banten, 085693945652 Tubagus Ahmad, Wahana Lngkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jakarta, 085693277933 Fikerman Saragih, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), 082365967999 Ki Bagus HK, Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), 085781985822
Update Sidang Gugatan PLTU Jawa 9 dan 10: Ada Dugaan Itikad Buruk Tergugat Gubernur Banten untuk Sembunyikan Perubahan Izin Lingkungan
Ada Dugaan Itikad Buruk Tergugat Gubernur Banten untuk Sembunyikan Perubahan Izin Lingkungan SERANG, 6 Januari 2021 – Ketertutupan informasi dan akses publik terhadap dokumen izin lingkungan membuat terjaminnya hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat menjadi terancam. Hal itu terungkap dalam perjalanan sidang-sidang gugatan Izin Lingkungan PLTU Suralaya 9 dan 10 di PTUN Serang Banten yang pada hari ini memasuki sidang ke-6. Pada bulan November 2020, Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) menggugat Izin Lingkungan yang diterbitkan Gubernur Banten yang terbit tahun 2017. Walhi menggugat dengan beberapa alasan antara lain, 1) izin yang diberikan kepada PT Indonesia Power tersebut tidak memenuhi standar emisi yang berlaku 2019, 2) tidak terpenuhinya partisipasi masyarakat dalam penerbitan Izin LIngkungan, dan 3) Dokumen Amdal yang menjadi dasar penerbitan Izin Lingkungan mengandung cacat substansi dan hukum. Pada masa pemeriksaaan pendahuluan, Tergugat Gubernur Banten yang diwakili oleh Biro Hukum Pemerintah Provinsi Banten menyebut bahwa ada perubahan izin lingkungan pada Desember 2018 (Izin Lingkungan 2018). Selain itu, Tergugat juga menyatakan bahwa terdapat perubahan Penanggung Jawab Usaha/Kegiatan dari PT Indonesia Power kepada PT Indo Raya Tenaga. Sebagai respon hal tersebut, Penggugat meminta hakim untuk mendorong Tergugat mengeluarkan Izin Lingkungan 2018 ke dalam persidangan dan meminta Hakim untuk turut serta memanggil PT Indo Raya Tenaga ke Persidangan. Hakim menyanggupi permintaan tersebut. Namun dalam fakta persidangan, Hakim tidak memanggil PT Indo Raya Tenaga ke persidangan. “Hakim punya kesempatan untuk berdiri di sisi keadilan lingkungan dan kepentingan publik jika serius menindak lanjuti fakta persidangan soal perubahan Izin Lingkungan 2018 yang disebut oleh kuasa hukum Tergugat. Ketidakterbukaan dokumen dan informasi publik oleh pemerintah seharusnya bisa “didobrak” dalam persidangan. Sayangnya ini tidak dilakukan,” kata Ronald, tim Kuasa Hukum WALHI Nasional. Tergugat Gubernur Banten yang diwakili oleh biro hukum juga tidak memberikan atau membuka Izin Lingkungan 2018 di persidangan. Biro hukum berdalih bahwa mereka tidak mempunyai Izin Lingkungan 2018 dan tidak memiliki kuasa untuk memintakan Izin Lingkungan tersebut kepada Instansi yang berwenang. “Izin lingkungan merupakan Suatu Keputusan Tata Usaha Negara yang memiliki kekuatan hukum mengikat sebelum Undang-Undang Cipta Kerja berlaku dan suatu tindakan hukum Pejabat Tata Usaha Negara. Sehingga dalam proses penerbitannya seharusnya mendapat persetujuan, diperiksa, dan atau setidak-tidaknya ditembuskan kepada biro hukum terlebih dahulu. Namun kuasa hukum yang menyatakan tidak memiliki izin lingkungan tersebut ini menjadi aneh. Hal ini menunjukkan ada itikad buruk dari Tergugat untuk menutupi Izin Lingkungan ini,” lanjut Ronald. Kuasa hukum Penggugat juga mengkritik pernyataan dari Kuasa Hukum Tergugat bahwa mereka tidak memiliki kuasa untuk memintakan izin lingkungan kepada Instansi yang menerbitkan. “Biro Hukum merupakan perwakilan Gubernur Banten dalam persidangan ini, oleh karena mewakili Gubernur Banten maka Kuasa Hukum memiliki kuasa untuk mengakses semua dokumen termasuk Izin Lingkungan agar perkara ini berjalan lancar dan tidak mencederai keadilan terhadap masyarakat. Jelas hal ini merupakan upaya Kuasa Hukum untuk menghambat proses keadilan” imbuh Karsidi, kuasa hukum Penggugat. Menurut Direktur Eksekutif WALHI Jakarta, Tubagus Soleh Ahmadi, gugatan ini menjadi penting karena penerbitan izin yang tidak mengindahkan regulasi dan potensi risiko yang jujur komprehensif akan menempatkan lingkungan dan warga jadi korban kebijakan. “Megaproyek PLTU Jawa 9 dan 10 ini diperkirakan akan melepaskan 10 juta ton karbon dioksida setiap tahun atau setara dengan emisi rata-rata Thailand. Penelitian juga menyebut pembangkit listrik batubara ini berpotensi menyebabkan kematian hingga 4.700 jiwa selama operasionalnya. Selain itu kerusakan perairan di pesisir Suralaya akan bertambah parah karena saat ini sudah rusak oleh banyak PLTU lainnya yang sudah beroperasi lama,” ujar Tubagus. Dwi Sawung, Manager Kampanye Perkotaan dan Energi WALHI Nasional mengatakan bahwa pembangunan PLTU baru ini berpotensi jadi proyek mangkrak jika melihat tren permintaan konsumen pada grid Jawa-Bali tahun ini dibandingkan tahun 2019. Bahkan data terbaru PLN 2020 menyebut oversupply (kelebihan pasokan) listrik pada grid ini mencapai 46,8%. 1] “Dengan kelebihan pasokan listrik yang besar sejak beberapa tahun terakhir ini, maka akan membuat proyek ambisius pemerintah untuk PLTU baru berpotensi jadi aset mangkrak dan menambah beban PLN. Ini hanyalah proyek yang dicitrakan untuk mendorong ekonomi rakyat tapi sesungguhnya lebih menguntungkan pengusaha tambang batubara baik di hulu maupun di hilir,” tutup Sawung. Kontak media: Raden Elang, Tim Kuasa Hukum WALHI, +62 877-7560-7994 Tubagus Soleh Ahmadi, Direktur Eksekutif Daerah WALHI DKI Jakarta, +62 856-93277933 Dwi Sawung, Manager Kampanye Perkotaan dan Energi WALHI Nasional, +63 999 412 0029